Minggu, 28 Februari 2016

Duka untuk Kampungku

Rasanya kaki ini berat, melangkah meninggalkan rumah sangat sederhana, yang kini hanya ditempati oleh sosok renta, yang pandangannya sering kosong, menerawang menembus batas angan yang sanggup beliau hadirkan.

Adalah mbah Putri, kami menyebut demikian. Panggilan penuh arti bagi orang yang rahimnya pernah aku huni, semejak empat cucu telah kupersembahkan kepadanya. Beliau kini sendiri. Sejak 27 Maret yang lalu Mbah Kung pergi. Mbah Putri sesekali masih ssibuk menghapus bulir-bulir airmatanya. Dan ini yang justru semakin membuatku selalu teringat, bahkan menangis tanpa terlihat.

Namun, sejujurnya, .. akupun menyimpan tangisan lain. Karena ketika pandanganku menyapu sekeliling, aku menjumpai sebuah paradoks. Guyupnya masyarakat kampungku rupanya telah terkoyak oleh pemahaman yang sepotong-sepotong, namun terlanjur diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak oleh orang-orang yang enggan belajar banyak.

Bahwa kematian -siapapun- pasti menciptakan keharuan. Eloknya dalam kehidupan bertetangga, maka sekat madzhab haruslah terkuak. Tak berbatas, hingga perbedaan aqidah sekalipun. Akhlaq nabawi mencontohkan, sekedar memberikan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan, mengulurkan bantuan yang dibutuhkan, hingga menguatkan kerapuhan hati bagi yang sedang bersedih, pada hakekatnya itu cerminan kematangan iman seseorang.

Namun, aku melihat, ketika masyarakat diselimuti kejumudan, klaim kebenaran seakan menjadi hak eksklusif sebuah golongan.

Tudingan bid'ah tidak cukup hanya dilontarkan. Bahkan pengharaman menta'ziahi, menginjakkan kaki pada rumah yang berbeda madzhab sepertinya jamak dilakukan.

Hal nyata aku saksikan. Sahabat-sahabat masa kecilku tak kujumpai dalam prosesi penyelenggaraan jenazah mbah Kung, hingga hari ke empat kematiannya. Apakah rumah mereka jauh ? Bukan. Sama sekali bukan. Rumah kami sangat berdekatan. Ketidakhadiran mereka lebih karena keluarga besar menyelenggarakan tahlilan. Sebuah aktifitas bid'ah yang pelakunya wajib dihakimi sedemikian rupa. Begitu kata mereka. Padahal, tetamu dari lintas desa, lintas kota tak kunjung sepi hingga kepulanganku ke Bandung lagi.

Kedalaman hatiku menangis. Bukan karena keluargaku diperlakukan demikian. Bukan !! Melainkan karena keprihatinanku pada dominasi doktrin yang telah membunuh sisi manusiawi mereka.

Bahkan ketika fanatisme madzhab membelah kesatuan ummat, para imam pun tak pernah memberikan teladan perpecahan. Namun, para pemuja madzhab seakan menemukan kebenarannya sendiri, padahal bisa jadi mereka tak pernah membolak balik kitab-kitab imam yang empat.

Sejujurnya. Aku bukanlah pengamal 'tahlilan'. Aku menolak peringatan-peringatan kematian sekian hari sekian tahun dan semacamnya. Bagiku itu bid'ah. Aku meyakininya.

Namun, telunjukku tak akan sanggup membid'ahkan para pengamal yang meyakininya disertai ilmu, atau bahkan pengamal yang melakukannya tanpa disertai ilmu.

Karena bagi yang melandasi amalnya dengan ilmu, inilah wilayah khilafiyah itu. Dan bagi yang melakukannya tanpa di dasari ilmui, .. maka sebelum telunjukku sanggup menuding, aku akan bertanya pada diri sendiri : adakah sudah aku sampaikan? Adakah ssudah aku da'wahkan? Adakah aku sudah berjibaku siang dan malam, memanjatkan doa bagi terbukanya wawasan mereka dalam munajat2ku sehingga aku pantas berbuat demikian ?

Bahkan aku merasa, kehadiranku di rumahku sendiri tak lebih dari seorang tamu. :(

Sering aku membandingkan. Lingkungan orang-orang yang ngajinya tidak hanya mentargetkan khatam, melainkan rutin mengkaji ayat demi ayat, mengasah kepekaan bashiroh dengan menjaga hablumminallah hablumminannas, cenderung lebih toleran. Mampu melihat perbedaan sebagai keniscayaan. Menjaga akhlak untuk tidak bersikap menyakitkan.

Kematian selalu membawa kesedihan, maka ketika aku menjalani penyelenggaraan jenazah,  tak pernah kutanyakan, sang mayat bermadzhab A atau B.  Karena aku yakin, jika ia seorang muslim, malaikat munkar nakir tak akan menanyakan golongan/madzhab ia ketika menempuh peribadatan.

Maka, adakah kita akan tetap berbangga dengan golongan-golongan?

Wallahu a'lam bish showwab.

Adalah Udin

Adalah Udin. Seorang pejuang tangguh yang saya temukan diantara fenomena kerapuhan generasi di sekelilingnya.

Terlahir setelah bapak dan ibunya bercerai. Praktis, sosok bapak tak dikenalnya. Hanya seorang ibu yang membesarkannya dengan susah payah, di tengah keterbatasan fisiknya yang sering sakit-sakitan.

Seorang Udin tak paham arti kekenyangan. Karena hari-harinya dihiasi lapar dan keinginan seperti teman-temannya yang tak bisa terpenuhi. Dalam keterbatasan logika anak kecilnya, di usia SD kadang ia mencuri, hanya untuk memenuhi hajat perutnya yang menuntut diisi karena lapar. Atau karena pensilnya habis, hingga peraut pun tak mungkin bisa memperuncingnya lagi, maka ketika ada kesempatan ia mengambil punya temannya yang berlebih. Sungguh, ia lakukan semua itu karena ia butuh.

Semangat belajarnya menggelora. Nilai terbaik selalu disandangnya. Maka, keinginannya untuk melanjutkan ke SMP tak ada yang bisa membendungnya, termasuk sang ibu yang merasa semakin sulit mencari uang. Bekerja serabutan, namun lebih sering terdiam di rumah karena sakit semakin sering pula mendatanginya. Untunglah, program masuk SMP gratis digulirkan tepat ketika ia memasuki jenjang tersebut. Udin pun masuk dengan mudah ke sebuah SMP terbaik di lingkungannya. Meski rumahnya jauh, ia tak surut langkah. Ibunya hanya sanggup memberinya ongkos naik angkot ketika berangkat sekolah saja, yakni duaribu rupiah sehari. Ketika pulangnya, ia jalan kaki. Mungkin di kalangan sebagian anak-anak, jarak angkot duaribu rupiah di masa itu, tak terbayangkan bisa tertempuh dengan jalan kaki, setiap hari. Tapi, bagi Udin, itu musti dijalani.

Ketika tahun ke dua Udin sekolah SMP, sakit ibunya makin parah. Sakit yang aneh. Ukuran tubuhnya makin hari makin mengecil, hingga kelumpuhan total menyerangnya. Maka, mulai kelas dua SMP, pulang dan pergi sekolah Udin jalan kaki, karena tak ada lagi yang bisa memberinya uang saku. Sebaliknya, ibunya butuh perawatan. Butuh ongkos untuk berobat. Ini menjadi pikiran Udin, sehingga sepulangnya ia sekolah, Udin bekerja menjadi kuli angkut di sebuah pasar tak jauh dari rumahnya. Hasilnya ia pakai untuk membeli beras dan lauk ala kadar. Juga untuk kebutuhan ibunya membeli obat. Udin sudah tahu bahwa mencuri itu berdosa. Ia adalah pekerjaan hina.

Sekolah yang konon berjudul 'gratis', tentu tetap membutuhkan iuran ini itu. Udin sudah kebal ditagih. Udin sudah kebal didesak-desak, diejek atau dilecehkan oleh teman-temannya. Meski jauh di lubuk hatinya ia perih. Meski sering di sudut ruangan ia tahan tangis. Namun, bagi Udin, kisahnya tak perlu ia bagi kepada teman-temannya, kecuali kepada salah seorang gurunya, yang itu juga karena ia harus meminta keringanan atas iuran tertentu. Alhamdulillah, gurunya membantu Udin. Ia dibebaskan dari iuran wajib kelas dan beberapa iuran yang lainnya.

Ketika penghujung SMP, Udin tak punya bayangan untuk bisa melanjutkan sekolahnya. Rupanya sang Guru yang budiman tersebut membantunya untuk bisa masuk sekolah yang menyediakan beasiswa bagi yang tidak mampu. Full beasiswa, seluruh biaya sekolah ditanggung, termasuk makan, dan sedikit uang saku. Sekolah tersebut berasrama. Praktis Udin terpisah dari ibunya. Namun tetangga kanan kiri mendukung langkah Udin dan ternyata mereka juga bersedia 'dititipi' ibunya selama Udin tidak ada di rumah.

Adalah Udin. Seorang yang tangguh. Meski desakan kebutuhan menghentak-hentak di setiap sisi hari-harinya. Namun ia teguh di tengah kekurangannya. Kekurangan kasih sayang, fasilitas, empati dari sekeliling dan segala kekurangan yang sudah menjadi identitas dirinya. Jika orang lain galau dengan sepatunya yang sudah usang, maka Udin bertahan dengan kondisi sepatu yang sudah sangat tidak layak dipakai. Jika pelajaran olahraga, ia sering meminjam sepatu temannya agar tidak kena tegur guru olahraganya. Sampai suatu saat, kepala asrama merasa iba dengannya. Diajaknya Udin ke toko sepatu. Disuruhnya Udin memilih sepatu yang disukainya. Udin bingung, karena seumur hidup ia belum pernah membeli sepatu dengan harga ratusan ribu sebagaimana yang tertera di toko sepatu tersebut. Namun, Bapak Kepala asrama tetap mendesaknya untuk memilih sendiri mana yang ia sukai. Akhirnya, sepatu terbagus yang pernah ia miliki selama ini, ia pakai dengan sepenuh syukurnya.

Di boncengan motor, hati Udin bergemuruh. Ingin ia memeluk Bapak Kepala Asrama, namun ia segan. Khawatir dianggap kurang ajar. Seperti tahu kata hati Udin, Bapak yang baik hati tersebut berujar : 'Udin, pegang jaket Bapak ya,... jalanan nanjak. Biar ga jatuh.'  Udin pun nurut.

Saat itulah, ada rasa ketentraman menjalari hati Udin. Sebuah rasa yang belum pernah ia miliki selama ini. Sebuah rasa yang asing. Tapi ia sangat merindukannya.

'Owh,... beginikah rasa memiliki seorang ayah?' tanya batin Udin. Dan Udin pun menikmatinya.
Sepanjang perjalanan hidupnya, Udin tak mengenal sosok laki-laki. Apalagi sosok seorang ayah. Terlintas bayangannya pun tak pernah.

***


Adalah seorang Udin. Sosok bertanggungjawab terhadap ibunya yang begitu disayanginya. Uang sakunya dikirim untuk sang ibu. Selebihnya ia tegar dalam himpitan kekurangan.

Kecerdasannya sering dimanfaatkan teman-temannya untuk mengerjakan tugas sekolah. Sebagai imbalan, Udin menerima uang ala kadarnya dari mereka. Udin sadar, itu bukan hal yang terpuji. Namun, saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan, untuk bisa mengumpulkan uang menutupi kebutuhannya, juga kebutuhan ibunya.

Udin yang tegar.  Ia Pintar, ia juga rajin dan tekun. Ketika ditanya, apa yang dimaui sekarang ini, ia menggeleng tak paham.  Karena hal yang sangat ia ingini ternyata bukanlah sepatu, meski memang ia sangat membutuhkannya. Namun ternyata ia sangat ingin bisa periksa mata, karena kondisi matanya sudah sangat menganggu. Tak bisa membaca dari kejauhan, pandangannya pun berbayang. Namun, ia tak pernah tahu, kapan kiranya ia bisa memiliki kacamata.

Adalah Udin. Yang kisahnya dituturkan Elhaq, teman sebangkunya. Satu-satunya teman yang dipercaya untuk mendengarkan kisah hidupnya. Yang ia tak tahan untuk tidak mencurahkannya kembali kepada saya. Terbata dan sesak ia tahan. Dan saya pun menangkapnya segera, untuk saya urai dalam tulisan ini. Agar menjadi hikmah yang bisa dibagi.

Adalah Udin. Teman Elhaq yang namanya saya samarkan.

Senin, 12 November 2012

Pahit Manis Mengenang Guru Kehidupanku

Berbincang tentang jasa guru, bagai berbicara tentang nafas kehidupanku. Karena aku menyadari, tanpa guru apalah arti seorang Wied. Tak berayah-ibu pendidik atau terdidik, tak berlingkungan yang mendidik.

Bagiku semua guru baik yang mengajar di sekolah formal maupun guru di sekolah non formal telah menempati masing-masing bilik di ruang hatiku. Dan bisa jadi ruang-ruang hati itu akan terisi kembali oleh sosok-sosok guru yang akan datang di kemudian hari. Wallohu a'lam.

Namun, dalam perjalanan hidupku, kenangan yang paling menoreh jiwa adalah sosok guruku semasa SD. Utamanya ketika kelas satu sampai dengan kelas empat. Ibarat pahatan, ia telah tercetak sedemikian dalam, hingga masa yang berganti sedemikian lama pun tak mampu memburamkan jejak pahatan tersebut.

Mengenang sosokku yang tak juga pintar membaca dan menulis.

"Hayooo, ... lihat di papan tulis, Wied. Perhatikan baik-baik." Penunjuk yang terbuat dari bilah bambu sederhana itu mengetuk-ngetuk papan tulis hitam yang sudah memudar warnanya. Perhatianku pun terpateri pada tulisan yang ditunjuk oleh Ibu Guru yang baik hati tersebut.

"Coba baca lagi, ... iiii.... kaaaaaannn." Beliau mengeja dengan suaranya yang lantang. 
"Ikan, ... 'ika' ditambah 'n'. Di baca, ... iiiikaaaannnnnn." Ekspresi beliau begitu lekat dalam ingatanku. Berdiri tegak merapat ke papan tulis, kepala beliau menengokku, mempertahankan kontak mata denganku, hingga beliau yakin bahwa aku paham. 

Yah,.. sejak itu, logikaku terbuka seluas-luasnya. Kesulitanku dalam membaca dan menulis huruf mati terurai sudah. Sejak itu, serumit apapun tulisan, baik yang berbahasa asli Indonesia maupun yang berbahasa serapan, aku lancar membacanya. 

Beliaulah guruku di kelas satu SD. Sebuah SD Negeri yang jauh berada di pelosok pedesaan, bertempat di perbatasan Ponorogo dan Trenggalek, di daerah yang terpagari pegunungan menghijau, yang di ujung matahari terbit selalu tampak semampainya kaki-kaki gunung wilis yang memberikan mata air tak kenal kering sepanjang waktu.

Ibu Suparti, begitu kami memanggilnya. Hingga hayat dikandung badan, Insya Allah aku tak akan bisa melupakannya. Tanpa beliau, kakiku tak akan sampai di pijakan ini. Menjelajah dunia pengetahuan, berbekal logika penulisan 'ikan'. 

Tentu sejatinya tak sesederhana itu. Pola didik yang berangkat dari hati, yang berdasar pada eloknya pribadi, telah memberikanku pijakan asasi yang mampu memberiku motivasi untuk belajar, bertahan dan memenangkan pertarungan antara tetap berjuang atau berhenti di tengah jalan.

Mengapa demikian?

Karena aku bukanlah seseorang yang terlahir dari kalangan terdidik, atau kalangan yang berlimpah uang. Kedua orangtuaku hanyalah petani miskin, yang sering dicibir karena hasrat anaknya untuk menuntut ilmu bak tak mengerti realita. 

"Nduk, ... beberapa waktu yang lalu, Simbok bertemu dengan Bu Suparti di pasar. Beliau bertanya di mana kamu sekolah. Setelah Simbok beritahu, beliau berkata : Wied memang anak yang pintar, titip pesan supaya terus lanjutkan sekolahnya. Jangan putus di tengah jalan." Begitu Simbokku pernah menceritakan ketika aku masih duduk di bangku SMA. 

Bahkan beliaupun masih memberikan energi padaku untuk menjadi pemenang, ketika aku merantau jauh dari tanah kelahiran.

Sama-sama seorang guru, di sebuah masaku, kelas dua SD. Aku memanggilnya Bu Sri. Perangainya pemarah. Suaranya menggelegar membuat kecut hati murid-murid sekelas. Aku juga sering ciut nyali.

Sebenarnya, dalam hal pelajaran aku tidak terlalu mengalami kesulitan. Basic di kelas satu yang membuatku percaya diri, karena aku lancar membaca dan menulis, aku juga tak kesulitan di pelajaran berhitung. Hanya saja, karena aku bukan 'siapa-siapa', aku pernah dituduh mencuri sampai tiga kali. 

Kasus pertama, ketika itu ada salah satu buku ulangan dari teman sekelas hilang. Aku tertuduh bersama dua temanku yang lain. Kami disidang disaksikan oleh teman sekelas, adik dan kakak kelas. Aku yang memang tak merasa mengambil tak bisa membela diri karena jiwaku sudah terpojok sedemikian rupa. Aku tidak tahu bagaimana tuduhan itu bisa teralamatkan kepadaku, yang jelas setelah itu buku ditemukan. Dan tak ada prosesi permintaan maaf, baik secara langsung ataupun tak langsung kepada kami, tertuduh pencuri buku yang hilang.

Kasus kedua dan ketiga, ada yang kehilangan uang. Bagaimana awal mulanya, sungguh akupun tak paham, mengapa aku bisa dituduh mencuri. Dan perlakuan Bu Sri padaku sama seperti kasus pertama. Aku disidang, dituding, dicerca, diinterogasi, dipaksa mengaku mencuri uang tersebut, padahal Demi Allah ... aku tak pernah melakukannya. 

Jiwaku retak. Harga diriku terkoyak. Aku yang bukan 'siapa-siapa' benar-benar berada di kecuraman jurang  rendah diri. Apa yang bisa aku lakukan? Mengadu pada orangtua? Oh, ... aku bukan type pengadu. Aku menyimpannya dalam-dalam luka itu. Perih itu aku nikmati hari demi hari, hingga akupun terkesima ketika mengetahui bahwa Bu Sri kembali mengajar di kelas tiga. 

Aku serba takut. Aku serba tak berani bersikap. Melihat keberingasan beliau kepada teman-teman yang tak juga paham apa yang beliau terangkan, aku semakin terpuruk. Takut luar biasa. Sepanjang ingatanku, aku selalu bisa menghindari kemarahan Bu Sri di masalah pelajaran. Tapi, tetap saja hariku berlalu dengan penuh tekanan.

Butuh waktu panjang bagiku untuk bisa mengambil hikmah dari  perlakuan Bu Sri padaku. Trauma psikologis yang menderaku tak jua memberiku ruang untuk bisa berdamai dengan kenangan itu. 

Jika kemudian aku kembali bisa menemukan keceriaan di masa itu, adalah sosok Ibu Sumianah yang mengajarku di kelas empat. Sosoknya begitu lembut, penuh perhatian dan jarang sekali marah. Beliau ibarat oase ditengah gurun, yang mampu menjadikanku kembali pulih percaya diri. Aku kembali menemukan sosok pendidik yang sebenarnya. Sosok yang melecutku untuk bisa berprestasi di tengah keterbatasan diri. 

Aku yang telah terpuruk direngkuh dan dibimbingnya untuk kembali bangkit meraih prestasi demi prestasi, meski itu hanya sebuah nilai yang tertera di selembar kertas ulangan. Tapi, tak ada beban, tak ada celaan.

Mengalami sendiri akan arti penting penghargaan bagi jiwa seorang anak, menjadikanku mengerti bagaimana harus bersikap ketika menghadapi anak-anak didik, atau anak sendiri. Keretakan jiwa yang pernah aku alami telah menjadikanku memahami, bagaimana menjaga jiwa-jiwa murni anak sedari dini. 

Maka, guru-guruku di masa awal aku belajar adalah guru sepanjang jaman. Hikmah terpetik sedemikian dalam dari sosok Bu Suparti, Bu Sri dan Bu Sumianah. Pahlawan sesungguhnya yang -bisa jadi- bukan aku sendiri yang merasakan. Ada banyak jiwa yang berkembang berlandaskan pondasi yang mereka tanamkan. 

Maka, seperti apapun sosok guru, meski trauma mendera sedemikian lama, tetaplah kehadirannya di hidupku bukanlah tanpa rencana-Nya. Pasti mereka hadir padaku untuk memberiku pelajaran berharga, tentang hidup dan kehidupan itu sendiri.

Almarhum Ibu Suparti, menggendong putra keduanya -Subiono- yang sekaligus teman sekelasku.


Bagimu para guruku ... semoga Allah SWT berkenan menyempurnakan segala kekuranganmu, untuk kemudian mulia ketika berada di sisi Rabbmu. Aamiin.


Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis bertemakan 'Guruku, Pahlawanku' yang diadakan oleh Gerakan Indonesia Berkibar.  Gerakan Indonesia Berkibar adalah sebuah gerakan nasional untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia melalui perbaikan kualitas guru dan sekolah.


Minggu, 07 Oktober 2012

Romantika Berbeda Bahasa

Hai .. hai ... Sahabat semua.. :)

Pagi ini,  sepeninggal anak dan suami ke tempat tujuannya masing-masing, saya sudah bisa leluasa nangkring di depan PC di ruang dapurku. Pastinya ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan untuk batas waktu hingga siang nanti. Melantai, mencuci dan bebenah sudah sedari pagi beres. Beginilah kalau anak-anak sudah besar, emaknya tidak begitu repot beberes dari sudut ke sudut. 

Sebelum saya menyentuh pekerjaan yang sebagian sudah saya cicil di malam tadi sembari menunggu suami pulang, saya ingin berbagi kisah ringan yang -semoga- bisa menyegarkan di awal hari sahabat sekalian.

Semalam, ternyata suami pulang agak awal. Belum sampai jam 11 malam, suara kendaraannya menderu di depan gerbang. Oh, .. tumben sudah pulang, batin saya. Saya syukuri kepulangannya dan kami pun bisa lebih leluasa berbincang banyak hal sembari mencari kantuk. Biasanya kami akan berkisah, timpal menimpali apa-apa yang sudah kami alami hari itu. Saya bercerita tentang anak-anak, tentang aktifitas seharian dan tentu saja dengan segala suka dukanya. 

Hingga ketika kisah saya sampai pada salah seorang anak yang -alhamdulillah- diberikan kesempatan untuk mengukir prestasi di sekolahnya, sampailah suami pada komentarnya yang membuat hati saya berdesir.

"Abi itu benar-benar GETUN kalau melihat Hani. Coba kalau Ummi supportnya lebih lagi, mungkin masih ada peluang berkembang lebih bagus."

"Duh, ... punteun atuh, Bi. Ummi harus gimana lagi ?" tanya saya dengan hati-hati.
"Ah,.. da Ummi mah pasti lebih tau." jawabnya.

Mungkin suami saya melihat perubahan di wajah saya. Bagaimanapun, saya merasa sudah maksimal membimbing anak. Tapi, kenapa suami harus bilang GETUN? Jika pun ada masukan, biasanya suami menyampaikan dengan kata-kata yang lebih enak. 

Oh, ya ...
Sebelumnya perlu diketahui. Saya terlahir sebagai orang Jawa. Jadi, ketika mendengar kata GETUN, maka dalam persepsi saya adalah sebuah ungkapan penyesalan. Berbeda dengan suami yang bersuku Madura. Tapi, mengingat suami sudah lama hidup di Jawa Timur, maka saya pikir suami pun punya persepsi yang sama ketika mengucapkan kata GETUN. 

Olala ...
Suami tergelak-gelak menyaksikan perubahan suasana hati  yang terpancar lewat mimik wajah saya. Rupanya ia menyadari sesuatu. Tentu saya dibuatnya heran. Ada apa?

Rupanya GETUN yang ia maksudkan adalah kosa kata bahasa Madura yang berarti 'Kagum'.,'Heran', atau 'Takjub'. Bukan GETUN dalam arti bahasa Jawa yang bermakna menyesal. 

Maka saya pun ikut geli menyadari ini. Dan saya memahami, karena salah paham seperti ini sering terjadi. Baik antara saya dengan suami, ipar-ipar, mertua bahkan dengan keluarga besar suami. Hal yang sama terjadi pada suami ketika berinteraksi dengan keluarga saya.

Pernah saya dongkol banget pada asisten yang dikirim mertua untuk membantu saya ketika anak sulung saya baru belajar lari, sementara adiknya masih bayi merah. Saya masih di Surabaya, belum pindah ke Bandung.  Di tengah kesibukan saya menyusui dan menahan nyeri sehabis melahirkan, sulung saya berlari ke jalanan. Di gerbang tengah berdiri asisten kiriman ibu mertua dari Madura yang notabene hanya mengerti bahasa Madura. Spontan saya berteriak : "Mbaakkk,... tolong CEKEL si Mas. CEKEL !!! .. jangan biarkan lari". Maklum, Jawa totok. Ketika panik yang keluar dari alam bawah sadar ya, .. bahasa ibu. CEKEL, maksud saya adalah 'pegang', 'tangkap'. Jadi anak saya tidak keburu kabur. Begitu maksud saya.

Aduh .. aduh ..
Sang asisten pucat pasi mendengar instruksi saya. Saya dongkol banget, akhirnya saya tinggalkan bayi yang menangis dan mengejar anak sayayang sudah melintasi jalan raya perumahan. Mobil yang berseliweran makin membuat saya panik. Alhamdulillah, si sulung selamat. Tapi gondok saya pada asisten masih tersisa hingga ibu mertua yang mendapat pengaduan dari asisten, tergelak-gelak sampai keluar airmata.

Rupanya asisten saya mengadu ke ibu mertua perihal instruksi saya padanya. Ia ketakutan setengah mati, makanya wajahnya juga pucat pasi.

Rupanya ketika saya menyuruhnya dengan kata CEKEL, maka ia mengartikannya sebagai perintah untuk MENCEKIK leher anak saya. 

O...oo..., pantas saja ia pucat dan bingung berdiri tak tahu harus berbuat apa. Maka giliran saya akhirnya ikut tergelak menyadari kesalahpahaman ini.

Begitulah dinamika berinteraksi dengan keluarga suami. Ada beberapa kata yang memang bikin saya tertawa karena artinya beda dengan pemahaman awal saya terhadap kata tersebut. Misal kata 'NGOMONG', ternyata maksudnya adalah 'BOHONG'. Ketika suami menyebut warna 'BIRU', ternyata maksudnya 'HIJAU". Maka untuk menghindari kebingungan kami, .. suami sering menyebut warna hijau dengan kata "BIRU DAUN". Sampai saat ini pun suami masih sering ketukar-tukar dalam penyebutan warna Biru dan Hijau. Bukan dikarenakan bingung warna, tapi lebih pada kebiasaan penyebutan di alam bawah sadar dia.

Hmm,.. sedikit berbagi romantika menikah beda suku. Pastinya banyak kisah. Tapi kalau dituangkan semua, bukan 'sedikit' lagi atuh ... :D:D

Salam bagi semua sahabat, selamat beraktifitas ..






JANDA


Apapun penyebabnya, karena kematian,  jatuhnya talaq dari suami atau bahkan adanya khulu' dari istri, maka tetap saja statusnya adalah janda.

Status. Sebegitu berartinya bagi masyarakat, sehingga banyak yang rela bersembunyi di balik tabir kegulitaan demi sebuah status.

Menjadi janda. Siapa yang mau? Aku pun tak hendak. Tapi, demi masa depan Dewi, anakku yang kini tinggal satu-satunya setelah kematian kakaknya beberapa waktu yang lalu, segala upaya kutempuh demi mendapatkan status janda. Kuurus surat kematian suamiku yang sedang berkalang nafsu, yang tak tahu sedang singgah di penjuru sebelah mana, dengan meyakinkan sepenuh keyakinan bahwa dia memang sudah mati.

Ada dan tidak adanya memang tak membawa beda. Kecuali sederet kesengsaraan demi kesengsaraan bagi aku dan anakku.

"Orang lain semua ada bapaknya, ya, Ma. Kalau bapak Dewi di mana?" permataku yang menginjak usia tujuh tahun sering bertanya demikian.
"Bapak Dewi sudah mati." mantap aku menjawabnya.
"Oh, ...," maklumnya tetap menyisakan rasa penasarannya. Biarlah, jika waktunya tiba, pasti dia akan memakluminya.

Surat keterangan kematian sudah aku dapatkan dari pengurus RT dan RW. Tidak susah, karena mereka masih terhitung kerabatku, yang memang sangat mendukung aku mengambil tindakan ini. Mereka sudah di batas permaklumannya pada kelakuan Bapak Dewi, suamiku.

Maka berbekal surat keterangan RT/RW, aku pun mendapat selembar surat keterangan statusku dari kelurahan. Yah, aku berhasil memanipulasi statusku. Dengan berbekal selembar surat kematian suamiku, maka status Dewi adalah anak yatim. Dia berhasil aku masukkan ke sebuah Madrasah tanpa biaya sepeserpun, bahkan Dewi tiap bulan mendapat santunan dari yayasan pemilik madrasah tersebut.Aku juga berhasil mendapatkan sepaket beras raskin dari kelurahan tiap dua bulan sekali, karena aku termasuk janda-janda yang berhak disantuni.

Tentu itu sangat membantuku, karena sebagai seorang buruh di sebuah pabrik konveksi, dengan gaji yang seringnya terpotong di sana sini, memberikan pendidikan yang layak untuk Dewi serasa mimpi. Belum lagi aku harus membiayai orangtuaku yang sudah jompo, yang sehari-hari aku titipi Dewi ketika aku pergi kerja.

Oh, mengapa aku mampu bertindak seperti itu ?

Semua tak lepas dari kelakuan Bapaknya Dewi.

Saat ia meminangku, betapa bangganya aku bersandingkan dengan lelaki gagah dan tampan yang memiliki penghasilan mapan. Keluarga besar pun ikut senang.

Tak lama setelah pernikahan, aku di boyong ke kampung halamannya, di kota Ciamis. Kutinggalkan Bandung dengan segala untaian harap yang membubung. Sampai kelahiran anak pertama, seorang bayi perempuan yang montok dan sehat. Lengkap sudah kebahagiaanku. Hidup di rumah yang sangat layak, berdampingan dengan ibu mertua yang sangat ramah. Kecintaan pada anaknya tertumpah juga padaku sebagai menantu dan anakku sebagai cucunya.

Jamaknya hidup di perkampungan, maka sanak saudara hidup juga berdampingan. Salah seorang sepupunya yang memiliki anak perempuan kelas dua SMP, rumahnya ada di belakang rumah kami. Tiap hari anaknya bermain dengan anakku. Mereka lengket sekali. Aku pun senang-senang saja dengan keakraban 'ponakan' ini dengan anak dan suamiku.

Hingga ketika anakku berusia tiga tahun, aku merasakan perut mual-mual, badan panas dingin. Rupanya sulungku akan mendapatkan adik. Aku sampaikan kabar gembira ini pada suamiku. Anehnya, dia hanya terdiam. Aku tak peka pada keterdiamannya, sehingga ketika suatu sore ia mengungkapkan keinginannya berkunjung ke orangtuaku di Bandung, aku sangat senang sekali.

Dengan semangat, aku kemasi baju alakadarnya. Sekedar untuk baju ganti, sementara yang lebih penting adalah baju-baju sulungku.

Tak lama setelah sampai di Bandung, dia berpamitan.

"Neng, Aa' pulang dulu ya, Neneng puas-puasin saja berkumpul dengan saudara di sini. Nanti Aa' jemput. Ingat, jangan pernah pulang sendiri tanpa dijemput sama Aa'."

Tanpa syak wasangka aku pun mengangguk senang.

Hari berganti pekan, dan pekan pun berganti bulan. Tak ada kemunculan suamiku untuk menjemputku. Uang yang ditinggalkan sekedar untuk uang pegangan, tak sampai sebulan sudah tak berbekas. Sementara kandunganku pun semakin besar.Akhirnya aku melahirkan tanpa suami mengetahui, hanya di dampingi Emakku yang begitu mengerti keadaanku. Bayi perempuan lahir dengan selamat dan sehat, meski selama  aku mengandungnya jiwaku dicekam keprihatinan.

Tahun berganti. Anakku Dewi mulai merangkak, ketika kakaknya tiba-tiba panas tinggi. Aku berlari kian kemari mencari bantuan untuk bisa membawa anakku ke dokter, setelah 3 hari panasnya tidak juga mereda. Dengan kondisi saudara-saudara yang tak kalah kurangnya dengan aku dan emakku, tak banyak yang aku dapatkan. Itu juga butuh waktu seharian. Berbekal uang pinjaman, aku membopong sulungku ke puskesmas. Sepanjang perjalanan, aku melihat bibr birunya menggeletar,  nafasnya juga tersengal.

Mengantri di puskesmas mencoba mendapatkan simpati dari petugas, setidaknya untuk kondisi anakku yang semakin membuat cemas. Rupanya upayaku tak membawa hasil. Karena sebelum nama anakku dipanggil, ia sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

Duniaku gelap.Dan hari-hariku berhias ratap.

Jika bukan karena Dewi, sulit bagiku untuk bertahan. Dengan mencoba menegakkan kakiku kembali, aku pun berusaha sana sini. Menjadi buruh cuci hingga menjual gorengan berkeliling. Apapun itu, aku lakukan untuk keperluan perutku dan bubur Dewi.

Kukabarkan kematian anakku ke kampung suami, meski aku tidak yakin, benarkah kabar itu akan sampai. Hingga dua bulan kemudian, datanglah ibu mertua dengan tangis penyesalannya.

Beliau bercerita, sekembalinya dari mengantarku, suamiku menyampaikan pada keluarga di Ciamis, kalau aku minta cerai dan tidak mau diajak pulang.

Maka dengan berbekal kisahnya, ia meminang 'ponakan' yang sebelumnya akrab dengan keluargaku. Mereka kini sudah memiliki anak. Suamiku juga tak pernah menceritakan perihal kehamilanku yang kedua.

Runtuh sudah langitku. Dan lagi-lagi, Dewi mejadi penyelamatku. Dengan sisa-sisa kekuatan yang aku miliki, aku datangi suamiku. Aku minta baik-baik 'keadilannya', karena toh orang yang bernasib 'diduakan' tidak hanya diriku. Dan mereka juga bisa. Rupanya suamiku tak mau memandangku sebelah mata. Justru istrinya yang begitu lantang menyampaikan keberatan.

Oke, aku pun minta diceraikan. Kurang ajar sekali apa yang ia katakan.

" Kalau mau kawin lagi, ya kawin saja. Saya tidak akan pernah mengurus perceraian. Dan saya tidak akan pernah menceraikan." Enteng sekali dia menjawab.

Darah memuncak di ubun-ubunku. Gelas yang ada di dekatku, aku lemparkan ka arahnya. Dia terperanjat, tak sempat menghindar. Pasti sakit. Tapi, tentu tak akan sesakit hatiku yang sangat merasa dilecehkan. Memangnya aku binatang, yang bebas melakukan perkawinan tanpa aturan?.

Dengan bara yang tetap aku pelihara hingga sekarang, aku membesarkan seorang Dewi sendirian. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik. lincah dan pintar.

Kuurus surat kematian suamiku, demi status jandaku. Karena mengurusnya lebih sedikit mengeluarkan biaya daripada mengurus surat cerai yang harus berbelit prosedurnya ke sana ke mari.

Yah,.. aku janda. Dan ternyata banyak kemudahan yang bisa aku dapatkan, termasuk diterimanya aku bekerja sebagai pegawai rendahan di pabrik konveksi tak jauh dari rumah. Pegawai personalianya iba denganku, karena kebetulan dia juga janda dengan dua anak yang masih kecil-kecil.

Tak selamanya menjadi janda itu menyusahkan.

Suatu Saat di Ruang UGD


(Catatan akhir tahun 2011)

Tergopoh aku mengurus administrasi dari meja ke meja. Mengisi data-data sedetail yang aku bisa. Sementara suami masih belum balik dari tempat parkir.

"Kelas satu penuh, Bu. Tinggal yang VIP." kata petugas pendaftaran.

Waduh, ... harus berunding dengan suami, deh. Karena jatah rawat inap dari kantor suami memang kelas kami di kelas satu, bukan VIP. Maklum, karyawan biasa. Bukan Manager dan sejenisnya. :).

Kulihat anakku sudah terkulai sedemikian rupa. Memerah pipinya karena panas badan makin meninggi. Lemas dan kelhatan tidak bergairah.

Untunglah, tak lama kemudian suami datang.

"Oke, ambil aja VIP, nanti kita booking kelas satu kalau ada yang kosong." Kata suami. Maka, srat sret, suami membubuhkan tanda tangan di beberapa lembar kertas. Yang penting anak kami segera tertangani dan bisa segera masuk ruangan.

Oh, ... rupanya keteganganku belum selesai. Aku harus menyaksikan anakku kesakitan ketika harus dipasang selang infus. Belum lagi karena tegang, selang infusnya susah masuk ke pembuluh darahnya. Terpaksa harus di coba di lain tempat. Makin sakit tentunya. Sedih sekali.

Aku duduk di sebelah anakku, di sebuah tempat tidur besi,  di antara sekian banyak deretan tempat tidur di ruang UGD sebuah rumah sakit. Menunggu diantar ke ruang perawatan.

Detik-detik berlalu, sangat membosankan. Untuk mengusir kejenuhan, aku edarkan pandangan ke segenap penjuru ruang UGD tersebut. Di sebelah kanan kami, seorang perempuan yang aku taksir usianya menjelang 50 tahunan. Beliau masuk lebih dulu dari kami. Ditunggui oleh seorang perempuan juga, yang kemudian aku ketahui ternyata tetangganya. Wajah pasien tersebut pucat pasi. Sesekali meringis menahan sakit. Tak jarang hingga mengerang sembari menangis.

"Sakit apa, Bu," kutuntaskan rasa keingintahuanku.
"Kurang tahu, Bu. Perut saya kembung, mengeras dan sakit sekali." jawabnya lirih.
"Oh, ... lekas sembuh ya, Bu." kata saya formil sekali. Batinku menduga, si ibu ini sakit semacam lever atau sejenisnya.

Pandanganku beralih ke pojok depan. Tampak seorang ibu di dampingi oleh -mungkin- suaminya. Memakai alat bantu pernafasan. Kelihatan susah sekali menarik nafasnya, -aku duga beliau menderita semacam penyakit Asma-, dan kelihatan lemas. Hingga sekedar menegakkan kepalanya saja harus dibantu oleh suaminya. Aku juga melihat suaminya mondar-mandir mungkin harus mengurus ini itu. Pasien ini juga masuk lebih dulu.

Persis sejajar dengan pasien penderita asma tersebut, ada seorang perempuan yang tak henti-hentinya menangis menahan sakit. Suami yang berada di sebelahnya sampai tak tahu harus berbuat apa. Suaminya mondar-mandir ke ruang jaga dokter dan ke tempat istrinya, sepertinya minta pertolongan dokter atas keluhan istrinya. Dan beberapa kali memang dokter datang, memeriksa, menanyakan keluhannya. Yang jelas, sakit perut, kembung dan uluhati nyeri. Mungkinkah maag?Ketika suaminya bertanya sesuatu pada seorang dokter perempuan yang memeriksanya, terdengar jawaban ketus yang dibarengi dengan bentakan yang membuat suami dan pasien tersebut terdiam seketika. Aku dilanda kebingungan dan tercengang.

Jarak dua tempat tidur dari kami, sesudah ibu yang menderita perut mengeras tadi, ada seorang anak perempuan, usia sekitar 10 tahunan. Terdiam dan meringkuk memeluk bonekanya. Kata orangtua yang menungguinya, dia sakit demam berdarah, panas sudah 4 hari.

Di barisan depan, tertutup tirai-tirai warna hijau muda, terdengar keluhan dan rintihan para pasien, sungguh menyayat hati. Sementara keluarga pasien terlihat hilir mudik dengan wajah-wajah tegang, atau bahkan penuh kegusaran. Rupanya mereka sudah lama terkapar di ruang UGD tersebut tanpa penanganan yang berarti. Ada yang sudah 5 jam menunggu, tapi belum juga masuk ke ruang rawat inap.

Aku pun mulai dihinggapi kegusaran. sudah hampir dua jam menunggu tak juga diantar ke ruangan. Suami juga mulai kehilangan kesabaran. Bolak-balik menanyakan kapan dipindahkan. Tapi jawabab dari para petugas sungguh bikin makin kesal.
"Ruangan belum disiapkan, Pak. Sabar saja. Banyak yang datang lebih dulu dari Bapak, hingga sekarang juga belum pindah." jawab mereka.

Suami pun balik dengan menahan kemarahan. Seberapa lamakah sebenarnya persiapan ruangan itu ? Hingga memakan waktu berjam-jam?

Di tengah kegusaran tersebut, tiba-tiba datang ambulans dengan sirine yang meraung-raung. Serentak terjadilah kesibukan luar biasa karena menangani pasien yang baru datang. Suara tempat tidur yang didorong terdengar riuh ditingkahi langkah-langkah sibuk dari paramedisnya. Juga instruksi ini itu dengan bahasa medis yang kurang aku mengerti. Sementara tangisan pengantar pasien terdengar mengharu biru. Jantungku berdegup kencang. Perhatianku tersita oleh kejadian tersebut. Ada perasaan was-was luar biasa.

Aku lihat pasien didorong ke ruang operasi. Paramedis terlihat berjubel di ruangan tersebut, sementara pengantar pasien bergerombol di lorong depan ruang operasi. Tangisnya masih terdengar. Kulihat di lantai darah berceceran, belum sempat dibersihkan. Mual tiba-tiba menyerang perutku.

Tak lama jeritan menyayat hati terdengar dari keluarga pasien. Ada yang pingsan, ada yang sesenggukan sembari berangkulan. Tak lama, pasien didorong keluar ruangan, menuju belakang. Sepertinya pasien tidak tertolong.

Aku makin tidak nyaman perasaan. Bergegas aku ke ruang petugas UGD. Sekedar menanyakan kepastian penanganan anak kami. Sekilas aku melirik ke ruang operasi yang pintunya masih masih terbuka lebar. Kepalaku pening seketika, ketika aku melihat di lantai darah tergenang banyak sekali. Belum lagi tapak sepatu yang menginjaknya meninggalkan cetakan tapak merah-merah di lantai rumah sakit yang putih.

Rupanya keluhanku tak mendapatkan tanggapan yang aku harapkan. Jawaban dari petugas UGD standart sekali. Sabar dan sabar, ... ruangan belum disiapkan. Aku melihat map berisikan berkas anakku. Tertulis VIP D2. Aku kembali ke tempat tidur anakku.

"Mas, coba cek ruang VIP D2. Benarkah belum disiapkan. Kalaupun ternyata belum, mintalah pada petugas ruangan untuk segera disiapka, Kita sudah menunggu dua jam lebih. Aku sudah tidak kuat lama-lama di sini. Bisa-bisa aku jadi pasien pula lihat kondisi di UGD macam begini." pintaku pada suamiku.

Bergegas suamiku mencari ruangan yang aku maksud.

Tak lama suami muncul dengan wajah merah padam. Terlihat sekali suamiku menahan amarahnya. Dia langsung menuju petugas jaga.

"Siapa bilang ruangan belum siap? Bahkan sejak dua jam yang lalu ruangan menunggu pasien diantar. Mana kursi rodanya, saya antar sendiri anak saya." terdengar suara keras suamiku.
"Oh, iya, Pak. Tunggu sebentar, saya siapkan kursi rodanya. Kami antar segera ke ruangan." Tergopoh-gopoh suara seorang perawat laki-laki menjawabnya.
"VIP D2 bisa berangkat." terdengar instruksi yang telat dari balik meja administrasi.

Dongkolku yang sangat membuat perutku makin mual. Tapi, setidaknya, setelah mengetahui bahwa akhirnya kami akan terlepas dari suasana UGD tersebut, aku pun bersemangat berjalan cepat mendampingi laju kursi roda yang mengantar anakku ke ruang rawat inapnya.

Ampun deh. Rumah sakit pemerintah. Bahkan pasien berkelas VIP pun diperlakukan demikian. Apatah lagi pasien yang berbekal kartu Jampersal, Jamkesmas, atau jamkes-jamkes yang lain? Tanpa bermaksud menyamaratakan petugas-petugas medisnya, tapi keluhan kerap terlontar, bahwa sikap mereka pun kebanyakan kurang ramah.

Ah, ... mending memang jangan sakitlah. Sehat itu memang mahal.

Sabtu, 31 Desember 2011

Belum berjudul


Pekat masih memeluk rapat.  Kokok ayam jantan sesekali terdengar, lamat.
Bersijingkat, Winda menapaki ruang tengah yang jika malam berubah menjadi tempat tidur bagi kedua anak gadisnya.
“A’, … bangun. Antar kue ke pasar sana, gih …” sebelah tangannya mengguncang bahu suaminya yang tengah terlelap. Sementara tangan kirinya menopang gendongan si bungsu yang sama terlelapnya dalam ayunan gerak tubuh  Winda.
Menggeliat sang suami, - Rustam- dan segera terbangun. Tanpa menunggu Rustam tersadar sepenuhnya, Winda telah kembali ke dapur sempitnya untuk menata aneka kue yang telah siap dipasarkan, hasil olahan tangannya sedari jam sebelas malam tadi.
Nagasari, bala-bala, tahu isi, putri no’ong, lumpia, juga onde-onde. Tiap wadah berisikan masing-masing sepuluh biji. Tangannya terampil memilah dan menata, sambil sesekali mengencangkan ikatan gendongan bayinya.
Winda menoleh ketika terdengar gemericik air di kamar mandi terdengar, memastikan suaminya sudah mengambil air wudhu. Tanpa banyak kata, Rustam mendirikan sholat malam. Memanjatkan doa dan bergegas mengeluarkan motor bututnya. Winda membantu mengangkat kotak-kotak kuenya. Ada yang ditaruh di depan, ada yang diikat di belakang.
“Bismillah,… Aa’ berangkat ya, Neng. Doakan laris ya, “ pamit Rustam sembari mengulurkan tangannya yang dicium ta’dzim oleh Winda.
“Amiin,.. hati-hati ya, A’,” balas Winda kemudian menutup rapat kembali pintu rumahnya.
Tak lama kemudian suara motor yang memecah kesunyian malam itupun perlahan menghilang. Dini hari begini pasar-pasar tradisional sudah mulai ramai.