Apa kabar sahabat semua? Semoga selalu dalam
lindungan-Nya. Amiin.
Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan curhat dari
temen yang terbiasa mencarikan jodoh bagi teman-teman kami yang masih melajang.
Teman saya ini berkisah dengan kegemasan yang menggebu-gebu, sama seperti saya
yang mendengarkan dan akhirnya saya pun menumpahkan uneg-uneg saya di sini.
Kisahnya begini :
Ada seorang teman laki-laki di daerah Kalimantan sana
minta dicarikan jodoh dengan kriteria
sebagai berikut : Gadis/janda tanpa anak usia antara 30 sampai dengan 35 tahun,
pendidikan minimal S1, bersedia menjadi ibu rumahtangga sejati yang
aktifitasnya full ngurus anak dan suami, plusssss ... mampu melahirkan anak
sebanyak-banyaknya.
Ini laki-laki, pernah menikah tapi cerai dengan istri
pertamanya karena dalam dua tahun sang istri tidak/belum mampu memberinya anak.
(Aslinya pengin banget mengumpat-umpat denger yang beginian ..., selalu pihak
istri yang dipersalahkan dalam urusan beranak pinak. Hhhh....)
Pembaca yang budiman,...
Pernah juga mendengar seorang teman
sakit hati di ejek ‘kurang jantan’ gara-gara hanya memiliki seorang putra yang
sudah berusia SMU. Padahal segala
ikhtiar juga sudah dilakukannya untuk bisa mendapatkan keturunan lagi. Seakan-akan
mereka yang berputra banyak lebih jantan daripada yang sedikit.
Tak jarang kemudian pandangan kurang
enak ditujukan kepada pihak perempuan (istri). Dan rupanya laki-laki yang
seperti ini di jaman kiwari masih juga banyak berkeliaran.
Hmm,…
Saya suka tidak respect pada suami yang seenaknya
sendiri memperlakukan istri , terutama dalam hal hamil dan melahirkan
anak-anaknya. Saya berpikir, perempuan yang punya rahim, yang hamil dan
menyusui, maka dia berhak untuk ikut menentukan rencana kehamilan-kehamilannya.
Sungguh tidak berperasaan para suami yang memperlakukan istrinya ibarat ayam
petelor dengan mesin penetas telornya. (maaf…. Bahasanya terlalu kasar ya?
Ini saking enegnya saya sama laki-laki macam begini)
Hamil dan menyusui bukanlah proses mesin dan
penggunanya melainkan melibatkan jiwa-jiwa yang terkait di dalamnya. Seorang
ibu yang hamil dan menyusui dalam kondisi stress tentu akan berakibat kurang
baik bagi kedua belah pihak, ibu dan anak. Begitupun jika seorang ibu tidak
ikhlash dalam mengandung, maka dampak yang akan ditimbulkan akan bisa parah.
Seseorang yang pernah dekat dengan saya mengalaminya, hingga kini dia terganggu
jiwanya, persis setelah kelahiran anak ke 3 yang tak diinginkannya.
Sebenarnya bukan dia tidak mau
menerima kehadiran anaknya, namun dia hamil yang ke 3 persis setelah masa
nifasnya di kelahiran anak ke 2-nya selesai. Jadi, anak ke 2 berusia 3 bulan,
dia terhitung sudah hamil 2 bulan. Sebagai seorang Ibu, hal ini sangatlah
berat. Dia harus berbagi antara bayi yang di luar dan janin yang ada dalam
rahimnya. Di saat dia begitu membutuhkan dukungan yang luar biasa dari semua
pihak, justru sang suami malah menyalahkannya atas kehamilan yang terlalu cepat
tersebut. Pihak keluarga pun memojokkannya dengan dalih dia tak segera pasang
alat kontrasepsi. Duuh …
Memang tidak semua perempuan beranak banyak menderita
atau tidak bahagia. Banyak juga yang memang menghendaki banyak anak, dan tentu
karena kesepahaman yang sinergis antara suami istri maka mereka tetap bahagia
dan bertanggungjawab penuh terhadap masa depan anak-anaknya.
Sepasang teman saya di Surabaya sana memiliki 14 anak,
terbukti bahagia. Tapi harap dicatat, pasangan ini adalah pekerja keras yang
berprinsip bahwa keberadaan anak-anaknya adalah motivator untuk hidup lebih
semangat dan pantang menelantarkan anak-anaknya. Juga kondisi fisik istri yang
memang tangguh luar biasa. Ibarat tiap tahun melahirkan pun, tinggal brujal brujul
(duuhh..., bahasanya ...), tidak ada satu pun yang melalui proses operasi.
Pasangan ini mampu memberikan hal terbaik bagi anak-anaknya,
termasuk masalah pendidikan. Anak-anaknya pun menjelma menjadi generasi yang
menakjubkan. Santun, pinter, berprestasi. Dari sekian banyak anak-anaknya, ada
satu yang memang bermasalah. Namun saya dibuat takjub dengan cara penanganan
dari keluarga tersebut. Dengan penuh kasih sayang bahu membahu mengerjakan
‘proyek’ yang dikirimkan kepada mereka. Subhaanalloh,.. mereka sukses
memberikan contoh bahwa proyek banyak anak itu bukan sekedar masalah gengsi
atau kebanggaan, terutama jika dikaitkan dengan urusan ‘kejantanan’, namun
masalah tanggungjawab amanah dunia dan akhirat. Apalah arti banyak anak kalau
justru akhirnya menjadi beban masyarakat. Juga bikin kondisi sang ibu
megap-megap.
Intinya, saya hanya berharap untuk ‘menengok’ dan
mempertimbangkan perasaan istri ketika harus hamil dan melahirkan. Betapa tidak
adilnya seorang laki-laki yang belum apa-apa ketika mau menikah sudah pasang
kriteria ‘mampu beranak banyak’ bagi calon istrinya. Atau seorang suami yang begitu
bangga dengan anak-anaknya yang berjubel tapi tidak/kurang bertanggungjawab
terhadap perasaan istri dan masa depan anak-anaknya.
Saya sendiri termasuk yang berkeinginan banyak anak.
Bagi saya hamil dan melahirkan adalah kenikmatan yang luar biasa. Namun, saya
juga menyadari konsekwensi terhadap keinginan saya tersebut. Saya harus siap
bekerja keras untuk bisa memberikan hak-hak kelayakan bagi anak-anak saya.
Pengalaman hamil dan melahirkan 4 kali memberikan saya
pelajaran kehidupan yang mungkin hanya saya sendiri yang bisa memaknainya. Betapa
cita-cita masa kecil yang selalu saya pelihara hingga saya dewasa, yakni punya
5 anak, tidak dengan serta merta dengan segala kemudahan bisa terwujud.
Setidaknya saya pernah mengalami ‘jumpalitan’ ke sana kemari ikhtiar untuk bisa
mendapatkan anak yang ke 4. Akhirnya setelah 8 tahun jarak usia anak ke 3,
lahir pulalah anak yang ke 4.
Kini, setelah anak ke 4 berusia hampir 4 tahun,
meskipun usia sudah tidak muda lagi, jauuuuhhh di lubuk hati, saya suka
kepingin hamil lagi. Apalagi kalau melihat bayi merah atau aroma minyak telon
bercampur bau ompol bayi .... Hmmm,... manis sekali.
Namun, saya cukup tahu diri. Kiranya
jika saya melahirkan lagi, mungkin si jabang bayi tak akan sanggup memanggilku
‘ummi… ummi ..’, tapi justru memanggilku ‘Nini … nini …’ dan harus siap ditanya
: ‘lagi mengasuh cucu ya Bu?’. Hehehe …
Oke, Sahabat… kiranya sementara cukup
uneg-uneg saya tertumpah kali ini. Mohon maaf jika ada kalimat yang kurang
berkenan.
Salam manis selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar