Sahabat yang berbahagia,…
Menyoal warisan pastilah ada suka dan tidak sukanya. Karena
istilah ‘warisan’ identik dengan adanya orang yang meninggal. Pada satu sisi
ada nuansa sedih, namun pada sisi yang lain, ada nuansa kegembiraan dengan
adanya warisan yang dibagi-bagikan kepada ahli waris.
Tulisan saya pada kali ini saya batasi hanya berkaitan dengan
warisan harta benda yang ditinggalkan oleh almarhum kepada ahli warisnya.
Meskipun kenyataannya, warisan itu tidak hanya semata-mata harta benda saja,
melainkan juga hutang piutang. Namun, untuk mempersempit pembahasan, karena ini berkaitan dengan
contoh kasus yang ingin saya sampaikan, maka saya hanya focus pada masalah
peninggalan harta benda.
Saya sering mendengar petuah dari para ulama : Dosa yang
pembalasannya tidak akan tertunda hingga hari akhir adalah durhaka kepada
orangtua dan serakah pada harta warisan. (mengambil yang bukan haknya).
Artinya, dosa kedua hal tersebut diatas, balasannya akan
diberikan bahkan sebelum manusia meninggal dunia. Adzab-Nya di tampakkan bahkan
selagi masih hidup.
Ketika saya masih muda (sekaligus sebuah pengakuan, bahwa
saya sudah tua.. :D ), kedua hal tersebut tidak pernah terpikir oleh saya,
terutama urusan warisan. Namun, dengan berjalannya waktu, saya menjumpai banyak
kasus yang menimpa saudara –dekat maupun jauh- yang punya kasus rebutan warisan
dari kedua orangtuanya. Dan memang betul, ternyata petuah yang saya dengar
ditampakkan sedemikian rupa. Saya berhuznudhon, semua yang terjadi pasti
dimaksudkan agar kita semua mampu mengambil pelajaran atas segala sesuatunya.
Sedikit berbagi dari banyak pelajaran yang bisa saya petik di
sekitar kehidupan saya :
Syahdan, saya memiliki kerabat jauh dari Jawa Timur, seorang
laki-laki yang sekarang berusia kurang dari 60 tahun, sebut saja Om Tamak. Dia adalah anak ke 3 dari 4 saudara.
Tingkahnya menyebalkan sekali. Yang menjadikannya bisa ciut nyali hanyalah sang
Bapak. Maka, ketika bapaknya meninggal dengan warisan yang terhitung banyak,
dia menjadi orang yang paling bahagia.
Pada posisi dia banyak harta, kerjanya hanya berfoya-foya
saja. Sombongnya bukan alang kepalang. Bahkan berpapasan dengan saudara tuanya
pun tak sudi menyapa. Kepala mendongak dengan congkak. (idiihhh,… kok ya ga
kesandung-sandung, gitu lho ..).
Ada seorang kerabat bercerita, ketika dia sedang ke Jakarta
untuk mencari kerja, dia menginap di saudaranya. Ternyata di ruang tamu sudah
ada Om Tamak yang sedang membaca Koran. Rupanya Om Tamak sedang berkunjung
juga. Berbinarlah wajahnya, mengingat Om Tamak adalah saudaranya, sekaligus
tetangga dekatnya di kampung. Hasrat hati ingin menyapa, tapi rupanya si Om
Tamak pura-pura tak mengenalnya. Kenangan ini disimpannya rapi dalam ingatan,
dan tak bisa lupa meski sekarang kerabat ini sudah bisa hidup mapan.
Kebiasaannya berfoya-foya menjadikannya kehabisan uang. Otak
liciknya pun melirik harta warisan kepunyaan saudara-saudaranya. Dengan alasan
pinjam sertifikat untuk suatu urusan, terjuallah semua warisan
saudara-saudaranya. Licin Om Tamak berkelit, sehingga saudara-saudaranya
terpaksa gigit jari. Kutukan dari yang terang-terangan hingga yang diam-diam
pastilah teralamatkan pada si Om ini. Tapi, hatinya benar-benar membatu.
Dengan bermodal harta warisan saudara-saudaranya, menikahlah dia
dengan perempuan lain desa, anak tunggal dari saudagar kaya di lingkungannya.
Dengannya dikaruniakan seorang putri tunggal pula. Lengkaplah modal bagi
kecongkakan Om Tamak. Saudara-saudaranya semakin membencinya, sama sekali tak
hendak mengenalnya. Pun Om Tamak pilih-pilih untuk diakunya saudara. Hanya yang
terbilang kaya, sama atau di atasnyalah yang bisa mendapatkan sapanya, atau
bahkan sesekali dikunjunginya.
Oya, dalam sejarah perjalanan hidupnya, dia tidak pernah bisa
sukses dalam berusaha. Usahanya selalu bangkrut karena dia selalu terjebak
dalam kelicikannya sendiri, lihai dalam hal tipu menipu. Sepertinya akalnya
sudah semakin dikuasai oleh nafsu serakahnya. Orang bilang, kutukan warisan
telah menjadikannya hamba syetan. Otaknya bebal, tak mampu menangkap peluang.
Habislah semua modal yang dia dapatkan dari mendlolimi saudara-saudaranya.
Kegilaannya tidak sampai di situ. Diam-diam, rumah mertua
diagunkannya ke bank. Rupanya si Om tak bisa membayar cicilan. Maka datanglah
juru sita ke rumah. Mertua dan istri histeris, namun karena mertua kaya raya,
ditebusnya semua utang menantunya. Meski begitu, tak terkira tumpahan sumpah
serapah diguyurkan ke Om Tamak.
Dalam kondisi seperti itu, mata si Om rupanya tak bisa
melihat barang agak kinclong sedikit. Bermodal penampilan, digaetlah gadis
lencir asal Sidoarjo, yang usianya masih di bawah anak tunggalnya.
Maka, pecahlah bahtera rumahtangganya yang pertama.
Terusirlah si Om Tamak dari istana istri dan mertuanya, dengan hanya berbekal
baju yang melekat di badan.
Tak terkata kisah terluntanya si Om menjadi peminta-minta di
kalangan keluarga dan kerabat. Ibarat bermuka badak, kini hidupnya sangat
tergantung pada belas kasihan saudara-saudaranya.
Setiap bulan, dia berkeliling ke saudara dekat atau jauh,
juga ke anak tunggalnya dengan istri pertama, menadahkan tangan meminta jatah
bulanan. Tak dihiraukannyanya cacian dan hinaan, yang penting si Om dapatkan
uang untuk dibawa pulang.
Kini si Om sudah mendekati usia 60 tahun. Anaknya dengan
istri ke dua masih kecil-kecil. Yang pertama baru kelas lima SD, yang ke dua
kelas satu. Istrinya manja luar biasa, tak mampu mencari peluang untuk menambah
penghasilan keluarga. Tertipu dia, dikiranya suaminya kaya raya, ternyata semua
harta milik istri pertama dan mertua.
Si Om mengontrak sebuah rumah kecil di gang sempit di daerah
Pasuruan sana. Dan sekalinya Alloh berikan kesempatan padanya untuk diterima
kerja di usianya yang sekarang, ternyata dia kebagian mengolah tinja dan
kotoran ternak untuk dijadikannya pupuk kandang. Setiap senja si Om pulang
dengan aroma mengerikan sekujur badan. Gaji sebulan dia terima 500 ribu rupiah,
toh memang tak ada yang mampu dia lakukan.
Hmm,…
Om Tamak sudah kena batunya. Yang biasanya congkak
menengadah, kini terkulai pasrah. Herannya, otaknya sama sekali tidak nyambung.
Seakan dibutakan, dibuntukan. Tak ada greget dalam menjalani hidup. Gelap.
Apalagi di usianya yang sudah tak lagi muda, semakin kelihatan bebalnya.
Ketika sesekali dingatkan tentang warisan, dia hanya tertawa.
Setidaknya saya berpikir, mumpung masih ada kesempatan, cobalah ketika
mendatangi saudaranya itu membuat pengakuan, meminta maaf dan bertobat dengan
segera. Bukan hanya sekedar meminta jatah bulanan.
Tapi, hal inipun tak pernah dia lakukan. Benar-benar hati dan
otaknya dibutakan. Hingga tetap gelap dan menyedihkan.
Duh, … Om Tamak.
Ini bukan kisah dari negeri dongeng. Ini kisah nyata yang
kebetulan saya menyaksikannya sendiri. Demikian juga kisah-kisah yang mungkin
sahabat semua juga menyaksikannya di sekeliling kita. Akhir keserakahan pada
warisan, selain menjadikannya terputus hubungan persaudaraan, juga akan
mendapat pembalasan dari yang Maha Mengetahui segala perbuatan. Semua itu
menjadikan saya semakin ingin menjauh dari segala sengketa urusan warisan.
Semoga Alloh berkenan menunjuki kita semua pada jalan-Nya yang lurus. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar