Pekat masih memeluk rapat.
Kokok ayam jantan sesekali terdengar, lamat.
Bersijingkat, Winda menapaki ruang tengah yang jika malam
berubah menjadi tempat tidur bagi kedua anak gadisnya.
“A’, … bangun. Antar kue ke pasar sana, gih …” sebelah
tangannya mengguncang bahu suaminya yang tengah terlelap. Sementara tangan
kirinya menopang gendongan si bungsu yang sama terlelapnya dalam ayunan gerak
tubuh Winda.
Menggeliat sang suami, - Rustam- dan segera terbangun. Tanpa
menunggu Rustam tersadar sepenuhnya, Winda telah kembali ke dapur sempitnya
untuk menata aneka kue yang telah siap dipasarkan, hasil olahan tangannya
sedari jam sebelas malam tadi.
Nagasari, bala-bala, tahu isi, putri no’ong, lumpia, juga
onde-onde. Tiap wadah berisikan masing-masing sepuluh biji. Tangannya terampil
memilah dan menata, sambil sesekali mengencangkan ikatan gendongan bayinya.
Winda menoleh ketika terdengar gemericik air di kamar mandi
terdengar, memastikan suaminya sudah mengambil air wudhu. Tanpa banyak kata,
Rustam mendirikan sholat malam. Memanjatkan doa dan bergegas mengeluarkan motor
bututnya. Winda membantu mengangkat kotak-kotak kuenya. Ada yang ditaruh di
depan, ada yang diikat di belakang.
“Bismillah,… Aa’ berangkat ya, Neng. Doakan laris ya, “
pamit Rustam sembari mengulurkan tangannya yang dicium ta’dzim oleh Winda.
“Amiin,.. hati-hati ya, A’,” balas Winda kemudian menutup
rapat kembali pintu rumahnya.
Tak lama kemudian suara motor yang memecah kesunyian malam
itupun perlahan menghilang. Dini hari begini pasar-pasar tradisional sudah
mulai ramai.