Sabtu, 31 Desember 2011

Belum berjudul


Pekat masih memeluk rapat.  Kokok ayam jantan sesekali terdengar, lamat.
Bersijingkat, Winda menapaki ruang tengah yang jika malam berubah menjadi tempat tidur bagi kedua anak gadisnya.
“A’, … bangun. Antar kue ke pasar sana, gih …” sebelah tangannya mengguncang bahu suaminya yang tengah terlelap. Sementara tangan kirinya menopang gendongan si bungsu yang sama terlelapnya dalam ayunan gerak tubuh  Winda.
Menggeliat sang suami, - Rustam- dan segera terbangun. Tanpa menunggu Rustam tersadar sepenuhnya, Winda telah kembali ke dapur sempitnya untuk menata aneka kue yang telah siap dipasarkan, hasil olahan tangannya sedari jam sebelas malam tadi.
Nagasari, bala-bala, tahu isi, putri no’ong, lumpia, juga onde-onde. Tiap wadah berisikan masing-masing sepuluh biji. Tangannya terampil memilah dan menata, sambil sesekali mengencangkan ikatan gendongan bayinya.
Winda menoleh ketika terdengar gemericik air di kamar mandi terdengar, memastikan suaminya sudah mengambil air wudhu. Tanpa banyak kata, Rustam mendirikan sholat malam. Memanjatkan doa dan bergegas mengeluarkan motor bututnya. Winda membantu mengangkat kotak-kotak kuenya. Ada yang ditaruh di depan, ada yang diikat di belakang.
“Bismillah,… Aa’ berangkat ya, Neng. Doakan laris ya, “ pamit Rustam sembari mengulurkan tangannya yang dicium ta’dzim oleh Winda.
“Amiin,.. hati-hati ya, A’,” balas Winda kemudian menutup rapat kembali pintu rumahnya.
Tak lama kemudian suara motor yang memecah kesunyian malam itupun perlahan menghilang. Dini hari begini pasar-pasar tradisional sudah mulai ramai.

Sabtu, 12 November 2011

PENGHUNI TETAP BILIK BATHINKU




Dengan gelisah kakiku berkecipak di air yang mengalir deras di bawah batu tempatku menunggu. Jernih airnya, berhias rumput-rumput liar yang aku tahu, di baliknya banyak ikan-ikan sejenis wader, lele atau sekedar impun bersembunyi. Jika bukan kerena aku sudah memiliki agenda lain, pasti sudah aku obok-obok tempat itu. Tapi, berhubung ada yang lebih penting lagi, aku pun mengacuhkannya.

Terasa pegal leherku melongok-longok, memastikan kedatangannya. Aku pun bosan membuang waktuku dengan memotong-motong onthel  kering–bunga pohon keluwih- dan menghanyutkannya pada sungai kecil yang airnya mengalir di bawahku. Rasanya sepulang sekolah tadi, aku tidak salah mendengar, bahwa kami akan bertemu di tempat ini. Di bawah pohon keluwih di samping pancuran yang airnya tak pernah mengering meski kemarau panjang mendera desaku. 

Bosan menunggu, maka aku pun turun ke pematang sawah. Menyusurinya kemudian naik ke tebing yang tidak begitu tinggi. Aku berniat mengambil daun  talas terlebih dahulu, sehingga waktuku tidak terbuang percuma. Dengan tangan kosong, aku memetik  5 daun talas yang lebar-lebar itu. Aku rasa cukup untuk menaruh hasil pekerjaan kami nanti.

Ketika dengan riangnya aku turuni tebing, aku melihat seseorang sudah menungguku di tempat aku duduk tadi. Hmm, … sudah datang rupanya dia, batinku. Bergegas aku menyusuri pematang.
“Ke mana saja sih,..” gerutuku menyapanya.
“Biasa, menunggu simbok tidur dulu,” santai sekali dia menjawab.

Kalau jawabannya sudah seperti itu, aku tak akan bisa membantahnya. Setahuku, tak ada yang sanggup melawan tatapan sadis simboknya, meski tak pernah ada kata-kata sempat aku dengar dari mulutnya. Yang aku tahu, cukup dengan tatapan matanya, semua orang akan terbirit-birit karenanya.

Maka, kami pun tak membuang waktu lagi. Segera kami beriringan menyusuri pematangsawah yang baru saja di panen. Panas terik bukanlah penghalang. Yang jelas, kami harus segera sampai ke pesawahan di sebelah tempuran –tempat bertemunya dua aliran sungai menjadi satu-. Jika tidak segera, bisa-bisa kami tidak kebagian wilayah. Kami khawatir, anak-anak dari sebelah Barat Sungai akan menguasai semuanya.

Di area pesawahan yang belum digarap itu, tanpa ragu, dengan hanya mengenakan kaos singlet dan celana pendek aku terjun. Mataku jeli melihat titik-titik bekas gelembung udara pada tanah basah pesawahan tersebut. Tanganku dengan cekatan akan mengaisnya. Dan sangat sedikit kemungkinan tebakanku meleset. Seringkali tanganku akan memperoleh hasil yang menggembirakan. Seekor belut, besar atau kecil, menggeliat-geliat dan akhirnya terdiam setelah aku banting-banting ke pematang. Tak begitu lama, daun talas yang aku bawa tadi, sudah penuh dengan hasil perburuanku dengan karibku, Supriatno.  Dia juga seorang pemburu belut yang ulung. Tak sekedar mencarinya di permukaan sawah, bahkan lubang-lubang di pematangpun dia korek dan hasilnya memang tak mengecewakan.

“Yu, pulang, yuk..” sambil menyeka lumpur di keningnya dia mengajakku pulang. Matanya memandang ke arah matahari, memastikan bahwa dia tidak akan terlambat pulang.
Karena kasihan, aku pun mengiyakan. Sebenarnya aku masih menikmati acara perburuan itu, tapi aku menyadari bahwa Supri –demikian aku memanggilnya- bisa jadi bulan-bulanan Simboknya kalau  sampai terlambat pulang. Sementara aku sendiri belum mengisi  gentong  persediaan air minum di rumah. Sepertinya memang harus berakhir perburuan belutku kali ini. Lagi pula, hasilnya sudah cukup memadai. 

Dengan sigap kami keluar dari arena yang penuh lumur tersebut utuk kemudian menceburkan diri di sungai.
“Yu, … tolong bawakan bajuku ya, aku mau ke kedung sebelah barat, “ Supri berteriak sambil berlari ke arah Barat. 

Walau dengan menggerutu aku ambil baju kumal kami dari batang pohon mahoni yang tidak begitu tinggi. Aku pun menyusulnya, tapi berhubung aku tidak berani mandi di kedung yang terlalu dalam, aku memilih untuk mandi di cekungan terdekat yang kedalamannya tidak begitu membahayakan. Segar sekali mandi di sungai. Airnya bersih, arusnya pun tidak begitu kencang, mengingat musim kemarau begini, debit air sungai juga menyusut.

Meskipun demikian, kami tidak bisa berlama-lama bermain di sungai. Segera kami pulang dengan keriangan. Lompatan-lompatan kaki kecil kami menyusuri  pematang. Aku tahu, kami harus segera sampai rumah, jika tidak mau menerima tatapan mata  dari simboknya Supri.  Sepertinya aku lebih rela menerima cubitannya daripada ditatap sedemikian rupa. 

Supri, seorang anak lelaki yang baik hati. Anak juragan mobil angkutan desa. Ada tiga mobil yang dimiliki orangtuanya. Bagi ukuran kampungku, itu sudah luar biasa. Selain itu, sawahnya banyak terbentang dari ujung ke ujung, bersebelahan dengan sawah orangtuaku.  Keluarga yang kaya raya, setidaknya begitulah menurutku. Aku selalu takjub jika masuk rumah Supri. Lantainya yang disemen mengkilap, gorden-gorden anggun menari tersapu angin menutup jendela-jendela rumahnya yang banyak. Belum lagi, televisi hitam putih 14 inc menghiasi atas buffet yang cantik, yang berisikan gelas, piring dan cangkir yang indah sekali. Ketika aku ikut nonton acara TV bersama tetangga-tetangga yang lain, aku tak henti mengagumi setiap sudut rumah Supri. Menyenangkan sekali. Satu-satunya yang menjadikan aku enggan berlama-lama di sana adalah tatapan mata Simbok Supri yang mengerikan. Itu saja.

Pertemanan kami terjadi karena kami bertetangga dekat. Kata orangtua, kami laksana mimi lan mintuno. Kemana-mana selalu bersama. Main layang-layang, mencari ikan di sungai, berburu belut, mencari daun sembukan dan lamtoro  untuk dibotok, mencuri mangga punya kakeknya dan lain sebagainya, selalu kami lakukan bersama. 

Kami hanya berpisah ketika kami sekolah saja. Dia bermain bersama dengan anak laki-laki, sementara aku bermain betengan, petak umpet, lompat tali dengan teman-teman perempuan. Tapi, begitu sekolah bubar, kami berjalan bersama-sama lagi pulang. 

Begitulah masa kecil kami lewati hingga kami lulus SD. 

Memasuki SMP, kami terpisah kelas. Mungkin karena pergaulan yang semakin luas, maka kami pun mulai terpisah kebersamaannya. Jika belajar, masih sering kami bertemu. Di rumahku atau di teras rumahnya. Tapi seiring pertumbuhan kami, baik fisik maupun psikis, dengan teratur jarak pun terbentang.  Tapi, tak ada sesuatu yang terganjal  antara kami, segalanya berjalan apa adanya. Proses alami kami lalui, aku mendapatkan tamu bulanan, dia pun dikhitan. Tentu segalanya sudah berbeda.

Suratan mengantarku melangkahkan kaki lebih jauh lagi. Menempuh perjalanan, mengejar keinginan, menemukan berjuta pengalaman. Silih berganti sosok teman mengiringi, datang dan pergi. Hatiku terpenuhi bilik-bilik tempat bersemayamnya semua sosok yang terkirim dalam hidupku. Warna-warninya menjadikanku merasa tiap-tiap sosok adalah penting. Warna-warni itu menetap, jadi meski ada keinginan untuk menghapusnya, pahatan itu sudah terukir jelas, menjadikan ruang hatiku tak bisa digeser dan dipola kembali.

Berbilang tahun, usia pun bergulir…
Tak akan terulang manisnya kecipak air sungai, karena sungai sudah semakin dangkal.Airnya keruh.  Sawah-sawah yang terbentang sudah berdiri rumah-rumah. Kehijauan gunung yang melingkupi desaku telah meranggas tertebang oleh perluasan tanah ladang. Jika masih ada yang bisa dikenang adalah sisa-sisa batu besar yang dulu pernah dijadikan tempat alas sholat bagi petani-petani di sawah. Itu pun tidak banyak. Karena sebagian besar sudah menjadi mangsa tukang batu,  terpecah-pecah menjadi pondasi rumah-rumah mewah di atas keringnya tanah sawah, yang aku ingat, dulu selalu basah. 

Pohon keluwih pun sudah ditebang, berganti dengan pohon mangga yang buahnya tidak begitu lebat. Untunglah, setidaknya masih ada tempat untuk berteduh. 

Semilir angin kerontang, menjadikanku tak jenak menunggu. Yah… ditempat yang sama, berpuluh tahun yang lalu aku juga menunggu.

Tadi pagi, ketika aku berkesempatan pergi ke pasar tradisional –tempat berjuta kenanganku terukir-, aku menjumpainya di tempat pemarutan kelapa yang ramai sekali. Ternyata dia pemiliknya.
“Hai…, sombongnya yang sudah jadi boss,” masih dengan gayaku aku pukul –sengaja aku keraskan- punggungnya. Dia yang sedang sibuk memilah uang berdasar besarannya, tentu terkejut.
“Walah Yu, … jantungen aku,” dia tidak pura-pura, memang ada keterkejutan di sana.
“Sini, sini… duduk. Mau wedang, Yu?” Hmm.., hangat hatiku mendengar panggilannya kepadaku tetap tak berubah. Yu, … dari kata Mbakyu. Karena dari silsilah keluarga yang sudah jauh dari kami pahami, aku jatuh lebih tua dari dia. Walaupun kenyataannya, dia lahir 3 bulan lebih awal dari aku.
“Sudahlah, … aku nonton aja,” aku mengelak, karena aku lihat dia begitu repotnya. Sementara aku pun harus segera membawa pulang hasil belanjaanku.
“Kapan balik?” tanyanya. Aku tahu, kalau seperti itu, pasti dia ada sesuatu yang ingin di sampaikan.
“Harus segera, sih… aku harus mampir-mampir. Ya sudah, sore ba’da Ashar ya, di pancuran,” aku membuat janji. Dia langsung mengiyakan.

Maka, di sini…
Meski tanpa kecipak air lagi, aku berharap suasananya akan mendorong  terungkapnya semua tanyaku setiap  pulang ke rumah Bapak Ibu.
Seorang Supri, yang sudah menjadi bagian hidup di masa kecilku. Sosok yang tegap, dengan otot tertonjol di sana sini menandakan dia adalah pekerja keras. Setiap kepulanganku, selalu ada hal baru yang dia lakukan. Dari menjadi juragan ayam potong, juragan bakso, pemasok berbagai jenis sosis, beternak bebek, dan terakhir dia menjadi boss pemarutan kelapa. 

Ayahnya sudah meninggal, kakak-kakaknya juga sudah menikah. Tinggallah dia seorang merawat sang Simbok yang tergolek lemah karena serangan stroke yang dideritanya. Seorang simbok, yang tak ada kenangan manisku bersamanya kecuali hanya tatapan mengerikan yang tertanam kuat dalam ingatanku. Namun, kini dalam kerentaannya, aku melihat tatapannya yang nelangsa. Setiap aku menjenguknya, keluhnya selalu sama.

“Supri belum menikah, Nduukk… ndak tahu, kok ndak mau melulu. Coba to Nduk, kamu tanya. Maunya itu apa? Lha wong sudah semakin tua …” panjang lebar keluhnya tentang si bungsu teman masa kecilku.
Dan tentu di setiap kepulanganku, tanya itu aku sampaikan. Tetap tak berjawab, hanya barisan giginya yang rapi terpamerkan lewat tawa lebarnya. Begitu juga ketika aku pamer  padanya keempat anak-anakku yang sudah beranjak dewasa. Bukanlah jawab yang aku dapat, justru keempat anak-anakku semakin tebal dompetnya karena ‘cecepan’ si Om yang baik hati. 

Hmm…, Supri.
“Sudah lama ya, Yu…” tiba-tiba dia sudah ada di belakangku. Spontan aku menoleh. Dia mengambil tempat di sebelahku, disodorkannya bungkusan yang setelah aku buka ternyata isinya gandhos (ketan bercampur kelapa, digoreng). Masih hangat. 

Aku comot sebuah. Nikmat. Masih kenikmatan yang sama.
“Gandhosnya mbah Sinem, ya…” tebakku.
“Iya. Hebat ya…, awet muda tuh mbak Sinem. Dari kita kecil jualan gandhos sampai sekarang, tak banyak berubah. Tetap gesit dan cantik.” Jawabnya. Aku hanya manggut-manggut mengiyakan. Hal yang sama ingin aku ungkapkan, tentang sosk mbah Sinem yang kecantikan dan kegesitannya tak banyak berubah.
 “Iya, mbah Sinem sih awet muda. Lha wong anak-anaknya sudah mentas semua. Tapi kita tidak akan awet kecil lho, karena kita akan semakin tua tua.” Aku berharap dia segera tanggap. Dan benarlah, maka tanpa membuang waktu, mengalirlah apa yang selama ini menjadi tanyaku.

“Aku wandu, Yu…” lirih ucapnya, tapi laksana petir di siang bolong bagiku. Mungkin pucat pasi wajahku, karena aku bisa merasakan piasnya seketika. 

“Kaget, kan?” Sambil tersenyum dia mencoba memaklumiku. Tapi, terlihat sekali dia menahan keperingan dari setiap bahasa wajahnya, mata, senyum, bahkan gerak geriknya.

Ada yang perih mengalir di hatiku juga.
“Tidak ada yang tahu lho, Yu. Cuma kamu yang aku kasih tahu. Tidak ada yang mengerti, di balik kokohnya tubuhku, aku bukan laki-laki. Aku mencoba menepisnya sejak dulu, tapi tidak pernah berhasil. Aku memang tidak gemulai, makanya tidak ada yang mengira demikian. Tapi aku tahu jiwaku. Jiwaku bukan laki-laki.” Dengan lancar akhirnya dia sanggup berkata-kata.
Justru kini aku yang terdiam. Aku pandangi sosok di sampingku. Tegap, gagah. Tak ada gerak-gerik yang gemulai. Pekerjaannya selama ini juga berkisar di area ‘per-otot-an’. Kerja lapangan, istilah dia. Benar-benar mengandalkan kemampuan fisik. 

Aku mencoba menggali kenangan masa kecilku, hingga kami baligh. Rasanya tidak ada yang aneh. Semua khas pergaulan anak kecil di kampungku. Semua menyenangkan.
“Aku tidak bisa menikah, Yu. Hatiku tidak pernah bisa mencintai perempuan. Aku tidak pernah tertarik, secantik apapun dia.  Kalau aku memaksakan diri, aku khawatir malah tidak bagus.” Urainya lagi. Aku masih terdiam. Menunggunya menuntaskan uneg-unegnya.

Hal yang mungkin terjadi, dengan sosok, wajah dan harta yang dia miliki sekarang, aku yakin, gampang baginya kalau hanya sekedar mencari istri. Dan kabarnya memang sudah beberapa orang yang menawarkan diri padanya.

“Biarlah, hidupku mungkin digariskan demikian. Aku mencoba menerimanya dengan ikhlash kok. Aku tidak macam-macam. Aku juga tidak melacur. Yang penting hidup kan sadermo ngelakoni. Aku pikir ya…, inilah ujianku. Dengan diuji seperti ini, aku lulus apa tidak.”

Aku kian tercekat.
“Sudahlah, Yu… tidak usah digagas. Simbok juga sudah bolak-balik nanya. Tapi, apa ya bisa ngerti kalau aku jelaskan. Tentunya malah bikin dia bingung. Malah sedih.”
Kini aku tergugu. Susah sekali menahan isakku.

“Tidak usah sedih. Aku janji. Aku bakalan lulus kok. Ujian dari Yang Maha Kuasa buat aku memang harus begini. Minta do’anya saja. Semoga aku dikuatkan. Biar aku bisa berbuat kebaikan dalam sisa umurku. Tidak apa-apa kalau aku harus tidak punya keturunan, toh ponakanku juga sudah banyak, kan?” dia malah berusaha mencandaiku. 
Justru itu semakin membuatku pilu.
“Sudah, ah… Aku tidak mau bikin sedihmu, Yu. Percayalah, aku bisa lulus.” Dia mengulangi dan menegaskan janjinya.

Kerontang angin makin membuat hatiku perih. Akan kusimpan rapi segenap pengakuannya.
Aku paham, bagi lingkungan kami apa yang dialaminya bisa jadi aib. Tapi ternyata Supri menganggapnya sekedar ujian hidup. Tiap-tiap manusia diuji sesuai dengan kadar kemampuannya. Dan dia begitu yakin, dia mampu melampauinya. 

Duh… Gusti. Semoga keyakinannya sanggup memberinya kebahagiaan.
Perlahan aku pergi, meninggalkannya dengan bungkusan gandhosnya yang belum habis. Surya semakin memancarkan kemerahan di garis cakrawala. Masih tetap, tenggelamnya di sela gunung Bayang Kaki. Tak berubah, dalam bilangan umurku yang sudah tidak muda lagi. Kesetiaan gunung Bayang Kaki terhadap Matahari yang pasti akan kembali ke pangkuannya, menjadikanku tersadar.
Aku sadar. Apa dan bagaimana Supri, bilik hatiku tak akan sanggup tergeser oleh sosok yang lain. Dia telah menempatinya sekian lama, menetap di sana. Justru dengan pengakuannya. Menjadikanku semakin mengerti. Dia memberiku banyak arti. Demikian juga dia telah menjadikanku mengerti, arti seorang Supri dalam kehidupan ini.

 “Ayo, pulang. Anak-anakmu pasti mencarimu.” Tiba-tiba dia sudah ada di belakangku, melihatku termangu menatapi cakrawala. Sepertinya dia paham, bahwa pikiranku terpagut pada dirinya.
“Anggap saja aku seperti matahari itu. Menggelincir menjalani laku hidupnya. Mungkin dia berkeinginan tetap memancarkan sinarnya, tapi apadaya laku hidupnya harus tidur jika menjelang malam. Semua sekedar menjalani ketentuan-Nya. Kita juga, kan?”

Aku mengangguk.  Tak banyak kata sanggup aku ungkapkan, namun aku yakin, Supri mengerti. Tak pernah tergeser keberadaannya di dalam hatiku. 

Beriringan kami lompati pematang-pematang, meski tak selincah diwaktu kecil, namun kaki-kaki kami tak pernah salah langkah. Hafal, kemana harus menuju.

Sahabat, … jemputlah bahagiamu dengan sepenuh keyakinanmu. Aku hanya sanggup mendoakanmu, dalam untaian panjang dzikir-dzikirku.

Malam kian menebar kelam…


Jumat, 11 November 2011

MENYOAL WARISAN





Sahabat yang berbahagia,…
Menyoal warisan pastilah ada suka dan tidak sukanya. Karena istilah ‘warisan’ identik dengan adanya orang yang meninggal. Pada satu sisi ada nuansa sedih, namun pada sisi yang lain, ada nuansa kegembiraan dengan adanya warisan yang dibagi-bagikan kepada ahli waris.

Tulisan saya pada kali ini saya batasi hanya berkaitan dengan warisan harta benda yang ditinggalkan oleh almarhum kepada ahli warisnya. Meskipun kenyataannya, warisan itu tidak hanya semata-mata harta benda saja, melainkan juga hutang piutang. Namun, untuk mempersempit  pembahasan, karena ini berkaitan dengan contoh kasus yang ingin saya sampaikan, maka saya hanya focus pada masalah peninggalan harta benda.

Saya sering mendengar petuah dari para ulama : Dosa yang pembalasannya tidak akan tertunda hingga hari akhir adalah durhaka kepada orangtua dan serakah pada harta warisan. (mengambil yang bukan haknya).
Artinya, dosa kedua hal tersebut diatas, balasannya akan diberikan bahkan sebelum manusia meninggal dunia. Adzab-Nya di tampakkan bahkan selagi masih hidup. 

Ketika saya masih muda (sekaligus sebuah pengakuan, bahwa saya sudah tua.. :D ), kedua hal tersebut tidak pernah terpikir oleh saya, terutama urusan warisan. Namun, dengan berjalannya waktu, saya menjumpai banyak kasus yang menimpa saudara –dekat maupun jauh- yang punya kasus rebutan warisan dari kedua orangtuanya. Dan memang betul, ternyata petuah yang saya dengar ditampakkan sedemikian rupa. Saya berhuznudhon, semua yang terjadi pasti dimaksudkan agar kita semua mampu mengambil pelajaran atas segala sesuatunya. 

Sedikit berbagi dari banyak pelajaran yang bisa saya petik di sekitar kehidupan saya :
Syahdan, saya memiliki kerabat jauh dari Jawa Timur, seorang laki-laki yang sekarang berusia kurang dari 60 tahun, sebut saja Om Tamak.  Dia adalah anak ke 3 dari 4 saudara. Tingkahnya menyebalkan sekali. Yang menjadikannya bisa ciut nyali hanyalah sang Bapak. Maka, ketika bapaknya meninggal dengan warisan yang terhitung banyak, dia menjadi orang yang paling bahagia. 

Pada posisi dia banyak harta, kerjanya hanya berfoya-foya saja. Sombongnya bukan alang kepalang. Bahkan berpapasan dengan saudara tuanya pun tak sudi menyapa. Kepala mendongak dengan congkak. (idiihhh,… kok ya ga kesandung-sandung, gitu lho ..). 

Ada seorang kerabat bercerita, ketika dia sedang ke Jakarta untuk mencari kerja, dia menginap di saudaranya. Ternyata di ruang tamu sudah ada Om Tamak yang sedang membaca Koran. Rupanya Om Tamak sedang berkunjung juga. Berbinarlah wajahnya, mengingat Om Tamak adalah saudaranya, sekaligus tetangga dekatnya di kampung. Hasrat hati ingin menyapa, tapi rupanya si Om Tamak pura-pura tak mengenalnya. Kenangan ini disimpannya rapi dalam ingatan, dan tak bisa lupa meski sekarang kerabat ini sudah bisa hidup mapan. 

Kebiasaannya berfoya-foya menjadikannya kehabisan uang. Otak liciknya pun melirik harta warisan kepunyaan saudara-saudaranya. Dengan alasan pinjam sertifikat untuk suatu urusan, terjuallah semua warisan saudara-saudaranya. Licin Om Tamak berkelit, sehingga saudara-saudaranya terpaksa gigit jari. Kutukan dari yang terang-terangan hingga yang diam-diam pastilah teralamatkan pada si Om ini. Tapi, hatinya benar-benar membatu.

Dengan bermodal harta warisan saudara-saudaranya, menikahlah dia dengan perempuan lain desa, anak tunggal dari saudagar kaya di lingkungannya. Dengannya dikaruniakan seorang putri tunggal pula. Lengkaplah modal bagi kecongkakan Om Tamak. Saudara-saudaranya semakin membencinya, sama sekali tak hendak mengenalnya. Pun Om Tamak pilih-pilih untuk diakunya saudara. Hanya yang terbilang kaya, sama atau di atasnyalah yang bisa mendapatkan sapanya, atau bahkan sesekali dikunjunginya. 

Oya, dalam sejarah perjalanan hidupnya, dia tidak pernah bisa sukses dalam berusaha. Usahanya selalu bangkrut karena dia selalu terjebak dalam kelicikannya sendiri, lihai dalam hal tipu menipu. Sepertinya akalnya sudah semakin dikuasai oleh nafsu serakahnya. Orang bilang, kutukan warisan telah menjadikannya hamba syetan. Otaknya bebal, tak mampu menangkap peluang. Habislah semua modal yang dia dapatkan dari mendlolimi saudara-saudaranya.

Kegilaannya tidak sampai di situ. Diam-diam, rumah mertua diagunkannya ke bank. Rupanya si Om tak bisa membayar cicilan. Maka datanglah juru sita ke rumah. Mertua dan istri histeris, namun karena mertua kaya raya, ditebusnya semua utang menantunya. Meski begitu, tak terkira tumpahan sumpah serapah diguyurkan ke Om Tamak. 

Dalam kondisi seperti itu, mata si Om rupanya tak bisa melihat barang agak kinclong sedikit. Bermodal penampilan, digaetlah gadis lencir asal Sidoarjo, yang usianya masih di bawah anak tunggalnya.
Maka, pecahlah bahtera rumahtangganya yang pertama. Terusirlah si Om Tamak dari istana istri dan mertuanya, dengan hanya berbekal baju yang melekat di badan. 

Tak terkata kisah terluntanya si Om menjadi peminta-minta di kalangan keluarga dan kerabat. Ibarat bermuka badak, kini hidupnya sangat tergantung pada belas kasihan saudara-saudaranya.
Setiap bulan, dia berkeliling ke saudara dekat atau jauh, juga ke anak tunggalnya dengan istri pertama, menadahkan tangan meminta jatah bulanan. Tak dihiraukannyanya cacian dan hinaan, yang penting si Om dapatkan uang untuk dibawa pulang.

Kini si Om sudah mendekati usia 60 tahun. Anaknya dengan istri ke dua masih kecil-kecil. Yang pertama baru kelas lima SD, yang ke dua kelas satu. Istrinya manja luar biasa, tak mampu mencari peluang untuk menambah penghasilan keluarga. Tertipu dia, dikiranya suaminya kaya raya, ternyata semua harta milik istri pertama dan mertua.

Si Om mengontrak sebuah rumah kecil di gang sempit di daerah Pasuruan sana. Dan sekalinya Alloh berikan kesempatan padanya untuk diterima kerja di usianya yang sekarang, ternyata dia kebagian mengolah tinja dan kotoran ternak untuk dijadikannya pupuk kandang. Setiap senja si Om pulang dengan aroma mengerikan sekujur badan. Gaji sebulan dia terima 500 ribu rupiah, toh memang tak ada yang mampu dia lakukan.  

Hmm,…
Om Tamak sudah kena batunya. Yang biasanya congkak menengadah, kini terkulai pasrah. Herannya, otaknya sama sekali tidak nyambung. Seakan dibutakan, dibuntukan. Tak ada greget dalam menjalani hidup. Gelap. Apalagi di usianya yang sudah tak lagi muda, semakin kelihatan bebalnya.
Ketika sesekali dingatkan tentang warisan, dia hanya tertawa. Setidaknya saya berpikir, mumpung masih ada kesempatan, cobalah ketika mendatangi saudaranya itu membuat pengakuan, meminta maaf dan bertobat dengan segera. Bukan hanya sekedar meminta jatah bulanan.
Tapi, hal inipun tak pernah dia lakukan. Benar-benar hati dan otaknya dibutakan. Hingga tetap gelap dan menyedihkan.

Duh, … Om Tamak.
Ini bukan kisah dari negeri dongeng. Ini kisah nyata yang kebetulan saya menyaksikannya sendiri. Demikian juga kisah-kisah yang mungkin sahabat semua juga menyaksikannya di sekeliling kita. Akhir keserakahan pada warisan, selain menjadikannya terputus hubungan persaudaraan, juga akan mendapat pembalasan dari yang Maha Mengetahui segala perbuatan. Semua itu menjadikan saya semakin ingin menjauh dari segala sengketa urusan warisan. Semoga Alloh berkenan menunjuki kita semua pada jalan-Nya yang lurus. Amiin.

LIMARATUS PERAK


Bandung yang siang itu basah dan dingin, tak menyurutkan tangan saya untuk segera membereskan packing barang yang akan saya kirim. Pesan dari customer harus dikirim via Kantor Pos. 

Berhubung saya juga ada acara keluar di daerah Cimindi, maka saya pikir sekalian mampir kantor pos. Lebih hemat waktu, tenaga dan biaya. Maka srat sret … saya sibuk pasang lakban coklat di kardus berisikan barang-barang pesanan.

Saya memiliki kebiasaan yang kurang bagus. Saya tidak terbiasa membawa dompet. Uang seringkali berada di saku baju gamis saya, atau jika membawa uang agak banyak, saya masukkan ke dalam tas. Tanpa dompet. KTP dan surat-surat juga saya masukkan dalam tas, saya tempatkan di lapis-lapis tertentu yang saya yakin keamanannya.

Di siang itu, saya bergegas keluar dengan menenteng kardus besar. Dari depan rumah angkot biru terlihat melintas, segera saya hentikan. Dengan dibantu oleh tukang ojeg yang biasa mangkal di depan rumah saya, tergopoh saya naik angkot jurusan Pasar Atas tersebut.

Di Perempatan Citeureup saya berhenti, dan membayar ongkos senilai Rp. 1.500,-, saya berganti angkot orange, jurusan Padalarang. Angkot ini melintasi Kantor Pos. Saya turun tepat di depan kantor Pos dan menyerahkan uang senilai Rp. 2.000,- kepada sopir angkot.
“Nuhun, ya, Pak …,” kata saya.
“Sami-sami, neng …,” kata sopir angkot sopan.

Saya segera antri di loket untuk menimbang paket kiriman saya. Dan setelah ditimbang, tersebutlah bahwa ongkos kirim adalah Rp. 63.500,- Saya serahkan ongkos kirim pas, tanpa pengembalian. Dengan lega, saya keluar dari kantor pos.  Setelah menyeberang, sembari menunggu angkot hijau  arah Bandung, saya buka-buka tas. Saya tersadar seketika begitu melihat isi tas, ternyata uang ‘utuh’ saya tinggal 50 ribu. Receh di saku gamis saya tinggal 3000 rupiah. Padahal di Cimindi nanti saya harus membayar beberapa tagihan. 

Maka saya kembali menyeberang jalan dan mencegat angkot arah CImahi Mall. Di sana ada ATM Centre.
Saya turun di Cimol (kami sering menyebutnya demikian), dan saya keluarkan uang Rp. 1.500,-. Legalah hati saya setelah beberapa lembar uang limapuluhribuan sudah saya pegang. Dengan ringan saya kembali menyeberang ke Pasar Antri dan mencegat angkot hijau arah Bandung.

Saya buka jendela angkot dan menikmati angin yang menerpa wajah saya dengan aroma kesegarannya. Maklum, hujan baru saja berhenti.  Saya perhatikan orang-orang yang berada dalam satu mobil angkot dengan saya. Di depan saya ada seorang mahasiswa Unjani (terlihat dari jaket almamaternya), duduk gelisah dengan bolak-balik melihat jam tangannya. Mungkin dia sedang terkejar agenda hingga mobil angkot yang berjalan dengan tersendat-sendat sembari mencari penumpang terasa semakin membuatnya terlihat bĂȘte. Di pojok depan, tepat di belakang sopir, duduk seorang ibu yang sepertinya habis kulakan dagangan dari Pasar Antri. Bersandar beliau di jendela angkot. Tatapannya tak beranjak dari pintu angkot. Seorang lagi, perawat yang bekerja di Rumah Sakit Mitra Kasih, terlihat dari logo rumah sakit yang terpasang di lengan bajunya. Dia mendekap map, duduk membungkuk menahan dinginnya udara yang menerpanya. 

Ketika angkot sampai di perempatan Cihanjuang, mahasiswa yang berada di depan saya minta turun. Dia angsurkan uang Rp. 1.500,- kepada pak sopir.
“Kurang, A’ …,” kata sopir tersebut pada mahasiwa yang begitu memberikan uangnya, langsung pergi dan tak menoleh lagi. Bisingnya lalulintas membuatnya tak hendak menoleh oleh panggilan pak sopir. Atau memang dia sengaja menulikan telinganya?

Menyadari penumpangnya tak mungkin memberikan ongkos lebih lagi, … maka pak sopir membanting uang Rp. 1.500,- tersebut keras-keras di dashboard tempat uang recehnya berserakan. Kelihatan sekali pak sopir marah.

Saya hanya menyaksikan tanpa banyak kata, karena pemandangan seperti ini sudah sangat sering saya saksikan sehari-hari.

Angkot ngetem sebentar di dekat Rumah Sakit Cibabat. Karena tak ada penumpang yang naik, maka angkotpun beranjak, meski dengan enggan.

Masih dalam keterdiaman, masing-masing penumpang sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga ketika sampai di Rumah Sakit Mitra Kasih, turunlah perawat yang mendekap mapnya sedari tadi. Ternyata gadis perawat ini tak memiliki uang kecil. Diberikannya uang limapuluhribuan kepada pak sopir.
“Teu aya’ angsulanana atuh, Neng … ,” ketus banget pak sopir berkata pada perawat tersebut.
“Aduh, Pak,… saya juga tidak ada receh,… ,” dengan wajah memelas perawat tersebut mencoba menjelaskan.
“Ngan duarebu we mayar ku limapuluhrebuan. Ngahina teh  tong kabina-bina …,” sembari melempar keluar jendela uang limapuluh ribuan tersebut, pak sopir menginjak gas dalam-dalam. 

Masih saya lihat wajah perawat yang pucat pasi. Pasti reuwas itu hatinya. Dan yang jelas malu.
Terkesiap saya. Tiba-tiba saya teringat, uang receh saya juga tidak banyak. Waktu dari Kantor Pos, tinggal seribuan dua dan limaratusan dua. Tigaribu semuanya. Seribu limaratus sudah saya bayarkan ketika saya ke ATM. Berarti, uang receh saya tinggal Rp. 1.500,- Dan uang sisa saya hanya uang limapuluhribuan semua. Mungkin wajah saya menjadi pias, ketika saya ingat perlakuan pak Sopir pada penumpang-penumpang sebelumnya. Saya segera aduk-aduk isi tas, berharap ketemua uang seribuan aTau paling tidak sekeping uang limaratusan. Tapi, rupanya rejeki saya kurang bagus. Tak saya temukan apa yang saya cari. Padahal Cimindi akan sampai sebentar lagi.

Pandangan saya pun beralih ke ibu-ibu yang ada dibelakang sopir. Saya bergeser mendekatinya. Saya ucapkan salam dengan pelan. Beliau menoleh dan tersenyum ramah.

“Ibu, punteun … bilih aya, …tiasa ngalironan artos ku receh?”  dengan penuh harapan saya bertanya.
“Sabaraha, Neng?” jawab beliau.
Saya segera keluarkan uang limapuluh ribuan.
“Eleuh.. eleuh,.. ari sakitu mah teu aya, Neng. Ayana oge ngan tujuhbelas rebu. Da ibu nembe wae balanja, tos teu aya deui artosna,” jawabannya sungguh membuatku lemes.

Ibu yang ramah ini sepertinya memahami perasaan saya. Kami sama-sama menyaksikan dua orang penumpang sebelum kami menjadikan pak sopir uring-uringan. 

Saya ceritakan kalau uang receh saya hanya tinggal seribulimaratus, sementara selain itu, saya hanya memiliki uang limapuluh ribuan. 

“Oh,.. ari ngan limaratus perak mah, ibu aya, Neng …,” beliau membuka dompet kecilnya bergambar logo toko emas.
Beliau mengangsurkan dengan setengah memaksa kepingan limaratus rupiah tersebut kepada saya. Saya sungguh bingung. Mau menerima kok kebangeten, tidak diterima, pastinya saya akan di damprat habis-habisan sama pak sopir. Sementara jembatan layang Cimindi sudah mulai terlihat tak jauh di depan.
Rupanya ibu tersebut melihat keragu-raguan saya. Semakin diangsurkan kepingan uang 500 rupiah tersebut. Dengan hati yang bercampur aduk, saya pun menerimanya.

Tak terperi perasaan saya saat itu. Serasa terlepas dari himpitan beban yang berat. Ucapan terimakasih dan tentu doa bagi ketulusan ibu tersebut bertubi-tubi saya ucapkan. 

Luar biasa, Alloh SWT mentarbiyah saya hari itu dengan kepingan uang 500 rupiah, melalui sosok ibu tersebut. Saya teringat, bahwa diantara amaliyah manusia, ada yang ternyata berbobot luar biasa sehingga menjadi penyelamat baginya di yaumul hisab. Dan itu bisa jadi bukan amaliyah yang sedemikian berartinya bagi pelakunya. Bisa jadi baginya hanya sekedar amaliyah ringan, namun di mata Alloh memiliki nilai yang sangat berat.

Saya berdoa, semoga kepingan uang 500 rupiah dari ibu yang saya tak sempat mengenalnya lebih jauh  tersebut, akan menjadi amalan yang akan menajdi pembelanya di akhirat nanti. 
Amiin.