Sabtu, 31 Desember 2011

Belum berjudul


Pekat masih memeluk rapat.  Kokok ayam jantan sesekali terdengar, lamat.
Bersijingkat, Winda menapaki ruang tengah yang jika malam berubah menjadi tempat tidur bagi kedua anak gadisnya.
“A’, … bangun. Antar kue ke pasar sana, gih …” sebelah tangannya mengguncang bahu suaminya yang tengah terlelap. Sementara tangan kirinya menopang gendongan si bungsu yang sama terlelapnya dalam ayunan gerak tubuh  Winda.
Menggeliat sang suami, - Rustam- dan segera terbangun. Tanpa menunggu Rustam tersadar sepenuhnya, Winda telah kembali ke dapur sempitnya untuk menata aneka kue yang telah siap dipasarkan, hasil olahan tangannya sedari jam sebelas malam tadi.
Nagasari, bala-bala, tahu isi, putri no’ong, lumpia, juga onde-onde. Tiap wadah berisikan masing-masing sepuluh biji. Tangannya terampil memilah dan menata, sambil sesekali mengencangkan ikatan gendongan bayinya.
Winda menoleh ketika terdengar gemericik air di kamar mandi terdengar, memastikan suaminya sudah mengambil air wudhu. Tanpa banyak kata, Rustam mendirikan sholat malam. Memanjatkan doa dan bergegas mengeluarkan motor bututnya. Winda membantu mengangkat kotak-kotak kuenya. Ada yang ditaruh di depan, ada yang diikat di belakang.
“Bismillah,… Aa’ berangkat ya, Neng. Doakan laris ya, “ pamit Rustam sembari mengulurkan tangannya yang dicium ta’dzim oleh Winda.
“Amiin,.. hati-hati ya, A’,” balas Winda kemudian menutup rapat kembali pintu rumahnya.
Tak lama kemudian suara motor yang memecah kesunyian malam itupun perlahan menghilang. Dini hari begini pasar-pasar tradisional sudah mulai ramai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar