Rasanya kaki ini berat, melangkah meninggalkan rumah sangat
sederhana, yang kini hanya ditempati oleh sosok renta, yang pandangannya
sering kosong, menerawang menembus batas angan yang sanggup beliau
hadirkan.
Adalah mbah Putri, kami menyebut
demikian. Panggilan penuh arti bagi orang yang rahimnya pernah aku huni,
semejak empat cucu telah kupersembahkan
kepadanya. Beliau kini sendiri. Sejak 27 Maret yang lalu Mbah Kung
pergi. Mbah Putri sesekali masih ssibuk menghapus bulir-bulir
airmatanya. Dan ini yang justru semakin membuatku selalu teringat,
bahkan menangis tanpa terlihat.
Namun,
sejujurnya, .. akupun menyimpan tangisan lain. Karena ketika
pandanganku menyapu sekeliling, aku menjumpai sebuah paradoks. Guyupnya
masyarakat kampungku rupanya telah terkoyak oleh pemahaman yang
sepotong-sepotong, namun terlanjur diyakini sebagai sebuah kebenaran
mutlak oleh orang-orang yang enggan belajar banyak.
Bahwa
kematian -siapapun- pasti menciptakan keharuan. Eloknya dalam kehidupan
bertetangga, maka sekat madzhab haruslah terkuak. Tak berbatas, hingga
perbedaan aqidah sekalipun. Akhlaq nabawi mencontohkan, sekedar
memberikan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan, mengulurkan
bantuan yang dibutuhkan, hingga menguatkan kerapuhan hati bagi yang
sedang bersedih, pada hakekatnya itu cerminan kematangan iman seseorang.
Namun, aku melihat, ketika masyarakat diselimuti kejumudan, klaim kebenaran seakan menjadi hak eksklusif sebuah golongan.
Tudingan
bid'ah tidak cukup hanya dilontarkan. Bahkan pengharaman menta'ziahi,
menginjakkan kaki pada rumah yang berbeda madzhab sepertinya jamak
dilakukan.
Hal nyata aku saksikan. Sahabat-sahabat masa
kecilku tak kujumpai dalam prosesi penyelenggaraan jenazah mbah Kung,
hingga hari ke empat kematiannya. Apakah rumah mereka jauh ? Bukan. Sama
sekali bukan. Rumah kami sangat berdekatan. Ketidakhadiran mereka lebih
karena keluarga besar menyelenggarakan tahlilan. Sebuah aktifitas
bid'ah yang pelakunya wajib dihakimi sedemikian rupa. Begitu kata
mereka. Padahal, tetamu dari lintas desa, lintas kota tak kunjung sepi
hingga kepulanganku ke Bandung lagi.
Kedalaman
hatiku menangis. Bukan karena keluargaku diperlakukan demikian. Bukan !!
Melainkan karena keprihatinanku pada dominasi doktrin yang telah
membunuh sisi manusiawi mereka.
Bahkan ketika
fanatisme madzhab membelah kesatuan ummat, para imam pun tak pernah
memberikan teladan perpecahan. Namun, para pemuja madzhab seakan
menemukan kebenarannya sendiri, padahal bisa jadi mereka tak pernah
membolak balik kitab-kitab imam yang empat.
Sejujurnya.
Aku bukanlah pengamal 'tahlilan'. Aku menolak peringatan-peringatan
kematian sekian hari sekian tahun dan semacamnya. Bagiku itu bid'ah. Aku
meyakininya.
Namun, telunjukku tak akan sanggup membid'ahkan
para pengamal yang meyakininya disertai ilmu, atau bahkan pengamal yang
melakukannya tanpa disertai ilmu.
Karena bagi yang
melandasi amalnya dengan ilmu, inilah wilayah khilafiyah itu. Dan bagi
yang melakukannya tanpa di dasari ilmui, .. maka sebelum telunjukku
sanggup menuding, aku akan bertanya pada diri sendiri : adakah sudah aku
sampaikan? Adakah ssudah aku da'wahkan? Adakah aku sudah berjibaku
siang dan malam, memanjatkan doa bagi terbukanya wawasan mereka dalam
munajat2ku sehingga aku pantas berbuat demikian ?
Bahkan aku merasa, kehadiranku di rumahku sendiri tak lebih dari seorang tamu. :(
Sering
aku membandingkan. Lingkungan orang-orang yang ngajinya tidak hanya
mentargetkan khatam, melainkan rutin mengkaji ayat demi ayat, mengasah
kepekaan bashiroh dengan menjaga hablumminallah hablumminannas,
cenderung lebih toleran. Mampu melihat perbedaan sebagai keniscayaan.
Menjaga akhlak untuk tidak bersikap menyakitkan.
Kematian
selalu membawa kesedihan, maka ketika aku menjalani penyelenggaraan
jenazah, tak pernah kutanyakan, sang mayat bermadzhab A atau B. Karena
aku yakin, jika ia seorang muslim, malaikat munkar nakir tak akan
menanyakan golongan/madzhab ia ketika menempuh peribadatan.
Maka, adakah kita akan tetap berbangga dengan golongan-golongan?
Wallahu a'lam bish showwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar