Minggu, 28 Februari 2016

Duka untuk Kampungku

Rasanya kaki ini berat, melangkah meninggalkan rumah sangat sederhana, yang kini hanya ditempati oleh sosok renta, yang pandangannya sering kosong, menerawang menembus batas angan yang sanggup beliau hadirkan.

Adalah mbah Putri, kami menyebut demikian. Panggilan penuh arti bagi orang yang rahimnya pernah aku huni, semejak empat cucu telah kupersembahkan kepadanya. Beliau kini sendiri. Sejak 27 Maret yang lalu Mbah Kung pergi. Mbah Putri sesekali masih ssibuk menghapus bulir-bulir airmatanya. Dan ini yang justru semakin membuatku selalu teringat, bahkan menangis tanpa terlihat.

Namun, sejujurnya, .. akupun menyimpan tangisan lain. Karena ketika pandanganku menyapu sekeliling, aku menjumpai sebuah paradoks. Guyupnya masyarakat kampungku rupanya telah terkoyak oleh pemahaman yang sepotong-sepotong, namun terlanjur diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak oleh orang-orang yang enggan belajar banyak.

Bahwa kematian -siapapun- pasti menciptakan keharuan. Eloknya dalam kehidupan bertetangga, maka sekat madzhab haruslah terkuak. Tak berbatas, hingga perbedaan aqidah sekalipun. Akhlaq nabawi mencontohkan, sekedar memberikan penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan, mengulurkan bantuan yang dibutuhkan, hingga menguatkan kerapuhan hati bagi yang sedang bersedih, pada hakekatnya itu cerminan kematangan iman seseorang.

Namun, aku melihat, ketika masyarakat diselimuti kejumudan, klaim kebenaran seakan menjadi hak eksklusif sebuah golongan.

Tudingan bid'ah tidak cukup hanya dilontarkan. Bahkan pengharaman menta'ziahi, menginjakkan kaki pada rumah yang berbeda madzhab sepertinya jamak dilakukan.

Hal nyata aku saksikan. Sahabat-sahabat masa kecilku tak kujumpai dalam prosesi penyelenggaraan jenazah mbah Kung, hingga hari ke empat kematiannya. Apakah rumah mereka jauh ? Bukan. Sama sekali bukan. Rumah kami sangat berdekatan. Ketidakhadiran mereka lebih karena keluarga besar menyelenggarakan tahlilan. Sebuah aktifitas bid'ah yang pelakunya wajib dihakimi sedemikian rupa. Begitu kata mereka. Padahal, tetamu dari lintas desa, lintas kota tak kunjung sepi hingga kepulanganku ke Bandung lagi.

Kedalaman hatiku menangis. Bukan karena keluargaku diperlakukan demikian. Bukan !! Melainkan karena keprihatinanku pada dominasi doktrin yang telah membunuh sisi manusiawi mereka.

Bahkan ketika fanatisme madzhab membelah kesatuan ummat, para imam pun tak pernah memberikan teladan perpecahan. Namun, para pemuja madzhab seakan menemukan kebenarannya sendiri, padahal bisa jadi mereka tak pernah membolak balik kitab-kitab imam yang empat.

Sejujurnya. Aku bukanlah pengamal 'tahlilan'. Aku menolak peringatan-peringatan kematian sekian hari sekian tahun dan semacamnya. Bagiku itu bid'ah. Aku meyakininya.

Namun, telunjukku tak akan sanggup membid'ahkan para pengamal yang meyakininya disertai ilmu, atau bahkan pengamal yang melakukannya tanpa disertai ilmu.

Karena bagi yang melandasi amalnya dengan ilmu, inilah wilayah khilafiyah itu. Dan bagi yang melakukannya tanpa di dasari ilmui, .. maka sebelum telunjukku sanggup menuding, aku akan bertanya pada diri sendiri : adakah sudah aku sampaikan? Adakah ssudah aku da'wahkan? Adakah aku sudah berjibaku siang dan malam, memanjatkan doa bagi terbukanya wawasan mereka dalam munajat2ku sehingga aku pantas berbuat demikian ?

Bahkan aku merasa, kehadiranku di rumahku sendiri tak lebih dari seorang tamu. :(

Sering aku membandingkan. Lingkungan orang-orang yang ngajinya tidak hanya mentargetkan khatam, melainkan rutin mengkaji ayat demi ayat, mengasah kepekaan bashiroh dengan menjaga hablumminallah hablumminannas, cenderung lebih toleran. Mampu melihat perbedaan sebagai keniscayaan. Menjaga akhlak untuk tidak bersikap menyakitkan.

Kematian selalu membawa kesedihan, maka ketika aku menjalani penyelenggaraan jenazah,  tak pernah kutanyakan, sang mayat bermadzhab A atau B.  Karena aku yakin, jika ia seorang muslim, malaikat munkar nakir tak akan menanyakan golongan/madzhab ia ketika menempuh peribadatan.

Maka, adakah kita akan tetap berbangga dengan golongan-golongan?

Wallahu a'lam bish showwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar