Adalah Udin. Seorang pejuang tangguh yang saya temukan diantara fenomena kerapuhan generasi di sekelilingnya.
Terlahir
setelah bapak dan ibunya bercerai. Praktis, sosok bapak tak dikenalnya.
Hanya seorang ibu yang membesarkannya dengan susah payah, di tengah
keterbatasan fisiknya yang sering sakit-sakitan.
Seorang
Udin tak paham arti kekenyangan. Karena hari-harinya dihiasi lapar dan
keinginan seperti teman-temannya yang tak bisa terpenuhi. Dalam
keterbatasan logika anak kecilnya, di usia SD kadang ia mencuri, hanya
untuk memenuhi hajat perutnya yang menuntut diisi karena lapar. Atau
karena pensilnya habis, hingga peraut pun tak mungkin bisa
memperuncingnya lagi, maka ketika ada kesempatan ia mengambil punya
temannya yang berlebih. Sungguh, ia lakukan semua itu karena ia butuh.
Semangat
belajarnya menggelora. Nilai terbaik selalu disandangnya. Maka,
keinginannya untuk melanjutkan ke SMP tak ada yang bisa membendungnya,
termasuk sang ibu yang merasa semakin sulit mencari uang. Bekerja
serabutan, namun lebih sering terdiam di rumah karena sakit semakin
sering pula mendatanginya. Untunglah, program masuk SMP gratis
digulirkan tepat ketika ia memasuki jenjang tersebut. Udin pun masuk
dengan mudah ke sebuah SMP terbaik di lingkungannya. Meski rumahnya
jauh, ia tak surut langkah. Ibunya hanya sanggup memberinya ongkos naik
angkot ketika berangkat sekolah saja, yakni duaribu rupiah sehari.
Ketika pulangnya, ia jalan kaki. Mungkin di kalangan sebagian anak-anak,
jarak angkot duaribu rupiah di masa itu, tak terbayangkan bisa
tertempuh dengan jalan kaki, setiap hari. Tapi, bagi Udin, itu musti
dijalani.
Ketika tahun ke dua Udin sekolah SMP,
sakit ibunya makin parah. Sakit yang aneh. Ukuran tubuhnya makin hari
makin mengecil, hingga kelumpuhan total menyerangnya. Maka, mulai kelas
dua SMP, pulang dan pergi sekolah Udin jalan kaki, karena tak ada lagi
yang bisa memberinya uang saku. Sebaliknya, ibunya butuh perawatan.
Butuh ongkos untuk berobat. Ini menjadi pikiran Udin, sehingga
sepulangnya ia sekolah, Udin bekerja menjadi kuli angkut di sebuah pasar
tak jauh dari rumahnya. Hasilnya ia pakai untuk membeli beras dan lauk
ala kadar. Juga untuk kebutuhan ibunya membeli obat. Udin sudah tahu
bahwa mencuri itu berdosa. Ia adalah pekerjaan hina.
Sekolah
yang konon berjudul 'gratis', tentu tetap membutuhkan iuran ini itu.
Udin sudah kebal ditagih. Udin sudah kebal didesak-desak, diejek atau
dilecehkan oleh teman-temannya. Meski jauh di lubuk hatinya ia perih.
Meski sering di sudut ruangan ia tahan tangis. Namun, bagi Udin,
kisahnya tak perlu ia bagi kepada teman-temannya, kecuali kepada salah
seorang gurunya, yang itu juga karena ia harus meminta keringanan atas
iuran tertentu. Alhamdulillah, gurunya membantu Udin. Ia dibebaskan dari
iuran wajib kelas dan beberapa iuran yang lainnya.
Ketika
penghujung SMP, Udin tak punya bayangan untuk bisa melanjutkan
sekolahnya. Rupanya sang Guru yang budiman tersebut membantunya untuk
bisa masuk sekolah yang menyediakan beasiswa bagi yang tidak mampu. Full
beasiswa, seluruh biaya sekolah ditanggung, termasuk makan, dan sedikit
uang saku. Sekolah tersebut berasrama. Praktis Udin terpisah dari
ibunya. Namun tetangga kanan kiri mendukung langkah Udin dan ternyata
mereka juga bersedia 'dititipi' ibunya selama Udin tidak ada di rumah.
Adalah
Udin. Seorang yang tangguh. Meski desakan kebutuhan menghentak-hentak
di setiap sisi hari-harinya. Namun ia teguh di tengah kekurangannya.
Kekurangan kasih sayang, fasilitas, empati dari sekeliling dan segala
kekurangan yang sudah menjadi identitas dirinya. Jika orang lain galau
dengan sepatunya yang sudah usang, maka Udin bertahan dengan kondisi
sepatu yang sudah sangat tidak layak dipakai. Jika pelajaran olahraga,
ia sering meminjam sepatu temannya agar tidak kena tegur guru
olahraganya. Sampai suatu saat, kepala asrama merasa iba dengannya.
Diajaknya Udin ke toko sepatu. Disuruhnya Udin memilih sepatu yang
disukainya. Udin bingung, karena seumur hidup ia belum pernah membeli
sepatu dengan harga ratusan ribu sebagaimana yang tertera di toko sepatu
tersebut. Namun, Bapak Kepala asrama tetap mendesaknya untuk memilih
sendiri mana yang ia sukai. Akhirnya, sepatu terbagus yang pernah ia
miliki selama ini, ia pakai dengan sepenuh syukurnya.
Di
boncengan motor, hati Udin bergemuruh. Ingin ia memeluk Bapak Kepala
Asrama, namun ia segan. Khawatir dianggap kurang ajar. Seperti tahu kata
hati Udin, Bapak yang baik hati tersebut berujar : 'Udin, pegang jaket
Bapak ya,... jalanan nanjak. Biar ga jatuh.' Udin pun nurut.
Saat
itulah, ada rasa ketentraman menjalari hati Udin. Sebuah rasa yang
belum pernah ia miliki selama ini. Sebuah rasa yang asing. Tapi ia
sangat merindukannya.
'Owh,... beginikah rasa memiliki seorang ayah?' tanya batin Udin. Dan Udin pun menikmatinya.
Sepanjang
perjalanan hidupnya, Udin tak mengenal sosok laki-laki. Apalagi sosok
seorang ayah. Terlintas bayangannya pun tak pernah.
***
Adalah
seorang Udin. Sosok bertanggungjawab terhadap ibunya yang begitu
disayanginya. Uang sakunya dikirim untuk sang ibu. Selebihnya ia tegar
dalam himpitan kekurangan.
Kecerdasannya sering
dimanfaatkan teman-temannya untuk mengerjakan tugas sekolah. Sebagai
imbalan, Udin menerima uang ala kadarnya dari mereka. Udin sadar, itu
bukan hal yang terpuji. Namun, saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan,
untuk bisa mengumpulkan uang menutupi kebutuhannya, juga kebutuhan
ibunya.
Udin yang tegar. Ia Pintar, ia juga rajin
dan tekun. Ketika ditanya, apa yang dimaui sekarang ini, ia menggeleng
tak paham. Karena hal yang sangat ia ingini ternyata bukanlah sepatu,
meski memang ia sangat membutuhkannya. Namun ternyata ia sangat ingin
bisa periksa mata, karena kondisi matanya sudah sangat menganggu. Tak
bisa membaca dari kejauhan, pandangannya pun berbayang. Namun, ia tak
pernah tahu, kapan kiranya ia bisa memiliki kacamata.
Adalah
Udin. Yang kisahnya dituturkan Elhaq, teman sebangkunya. Satu-satunya
teman yang dipercaya untuk mendengarkan kisah hidupnya. Yang ia tak
tahan untuk tidak mencurahkannya kembali kepada saya. Terbata dan sesak
ia tahan. Dan saya pun menangkapnya segera, untuk saya urai dalam
tulisan ini. Agar menjadi hikmah yang bisa dibagi.
Adalah Udin. Teman Elhaq yang namanya saya samarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar