Minggu, 28 Februari 2016

Adalah Udin

Adalah Udin. Seorang pejuang tangguh yang saya temukan diantara fenomena kerapuhan generasi di sekelilingnya.

Terlahir setelah bapak dan ibunya bercerai. Praktis, sosok bapak tak dikenalnya. Hanya seorang ibu yang membesarkannya dengan susah payah, di tengah keterbatasan fisiknya yang sering sakit-sakitan.

Seorang Udin tak paham arti kekenyangan. Karena hari-harinya dihiasi lapar dan keinginan seperti teman-temannya yang tak bisa terpenuhi. Dalam keterbatasan logika anak kecilnya, di usia SD kadang ia mencuri, hanya untuk memenuhi hajat perutnya yang menuntut diisi karena lapar. Atau karena pensilnya habis, hingga peraut pun tak mungkin bisa memperuncingnya lagi, maka ketika ada kesempatan ia mengambil punya temannya yang berlebih. Sungguh, ia lakukan semua itu karena ia butuh.

Semangat belajarnya menggelora. Nilai terbaik selalu disandangnya. Maka, keinginannya untuk melanjutkan ke SMP tak ada yang bisa membendungnya, termasuk sang ibu yang merasa semakin sulit mencari uang. Bekerja serabutan, namun lebih sering terdiam di rumah karena sakit semakin sering pula mendatanginya. Untunglah, program masuk SMP gratis digulirkan tepat ketika ia memasuki jenjang tersebut. Udin pun masuk dengan mudah ke sebuah SMP terbaik di lingkungannya. Meski rumahnya jauh, ia tak surut langkah. Ibunya hanya sanggup memberinya ongkos naik angkot ketika berangkat sekolah saja, yakni duaribu rupiah sehari. Ketika pulangnya, ia jalan kaki. Mungkin di kalangan sebagian anak-anak, jarak angkot duaribu rupiah di masa itu, tak terbayangkan bisa tertempuh dengan jalan kaki, setiap hari. Tapi, bagi Udin, itu musti dijalani.

Ketika tahun ke dua Udin sekolah SMP, sakit ibunya makin parah. Sakit yang aneh. Ukuran tubuhnya makin hari makin mengecil, hingga kelumpuhan total menyerangnya. Maka, mulai kelas dua SMP, pulang dan pergi sekolah Udin jalan kaki, karena tak ada lagi yang bisa memberinya uang saku. Sebaliknya, ibunya butuh perawatan. Butuh ongkos untuk berobat. Ini menjadi pikiran Udin, sehingga sepulangnya ia sekolah, Udin bekerja menjadi kuli angkut di sebuah pasar tak jauh dari rumahnya. Hasilnya ia pakai untuk membeli beras dan lauk ala kadar. Juga untuk kebutuhan ibunya membeli obat. Udin sudah tahu bahwa mencuri itu berdosa. Ia adalah pekerjaan hina.

Sekolah yang konon berjudul 'gratis', tentu tetap membutuhkan iuran ini itu. Udin sudah kebal ditagih. Udin sudah kebal didesak-desak, diejek atau dilecehkan oleh teman-temannya. Meski jauh di lubuk hatinya ia perih. Meski sering di sudut ruangan ia tahan tangis. Namun, bagi Udin, kisahnya tak perlu ia bagi kepada teman-temannya, kecuali kepada salah seorang gurunya, yang itu juga karena ia harus meminta keringanan atas iuran tertentu. Alhamdulillah, gurunya membantu Udin. Ia dibebaskan dari iuran wajib kelas dan beberapa iuran yang lainnya.

Ketika penghujung SMP, Udin tak punya bayangan untuk bisa melanjutkan sekolahnya. Rupanya sang Guru yang budiman tersebut membantunya untuk bisa masuk sekolah yang menyediakan beasiswa bagi yang tidak mampu. Full beasiswa, seluruh biaya sekolah ditanggung, termasuk makan, dan sedikit uang saku. Sekolah tersebut berasrama. Praktis Udin terpisah dari ibunya. Namun tetangga kanan kiri mendukung langkah Udin dan ternyata mereka juga bersedia 'dititipi' ibunya selama Udin tidak ada di rumah.

Adalah Udin. Seorang yang tangguh. Meski desakan kebutuhan menghentak-hentak di setiap sisi hari-harinya. Namun ia teguh di tengah kekurangannya. Kekurangan kasih sayang, fasilitas, empati dari sekeliling dan segala kekurangan yang sudah menjadi identitas dirinya. Jika orang lain galau dengan sepatunya yang sudah usang, maka Udin bertahan dengan kondisi sepatu yang sudah sangat tidak layak dipakai. Jika pelajaran olahraga, ia sering meminjam sepatu temannya agar tidak kena tegur guru olahraganya. Sampai suatu saat, kepala asrama merasa iba dengannya. Diajaknya Udin ke toko sepatu. Disuruhnya Udin memilih sepatu yang disukainya. Udin bingung, karena seumur hidup ia belum pernah membeli sepatu dengan harga ratusan ribu sebagaimana yang tertera di toko sepatu tersebut. Namun, Bapak Kepala asrama tetap mendesaknya untuk memilih sendiri mana yang ia sukai. Akhirnya, sepatu terbagus yang pernah ia miliki selama ini, ia pakai dengan sepenuh syukurnya.

Di boncengan motor, hati Udin bergemuruh. Ingin ia memeluk Bapak Kepala Asrama, namun ia segan. Khawatir dianggap kurang ajar. Seperti tahu kata hati Udin, Bapak yang baik hati tersebut berujar : 'Udin, pegang jaket Bapak ya,... jalanan nanjak. Biar ga jatuh.'  Udin pun nurut.

Saat itulah, ada rasa ketentraman menjalari hati Udin. Sebuah rasa yang belum pernah ia miliki selama ini. Sebuah rasa yang asing. Tapi ia sangat merindukannya.

'Owh,... beginikah rasa memiliki seorang ayah?' tanya batin Udin. Dan Udin pun menikmatinya.
Sepanjang perjalanan hidupnya, Udin tak mengenal sosok laki-laki. Apalagi sosok seorang ayah. Terlintas bayangannya pun tak pernah.

***


Adalah seorang Udin. Sosok bertanggungjawab terhadap ibunya yang begitu disayanginya. Uang sakunya dikirim untuk sang ibu. Selebihnya ia tegar dalam himpitan kekurangan.

Kecerdasannya sering dimanfaatkan teman-temannya untuk mengerjakan tugas sekolah. Sebagai imbalan, Udin menerima uang ala kadarnya dari mereka. Udin sadar, itu bukan hal yang terpuji. Namun, saat ini hanya itu yang bisa ia lakukan, untuk bisa mengumpulkan uang menutupi kebutuhannya, juga kebutuhan ibunya.

Udin yang tegar.  Ia Pintar, ia juga rajin dan tekun. Ketika ditanya, apa yang dimaui sekarang ini, ia menggeleng tak paham.  Karena hal yang sangat ia ingini ternyata bukanlah sepatu, meski memang ia sangat membutuhkannya. Namun ternyata ia sangat ingin bisa periksa mata, karena kondisi matanya sudah sangat menganggu. Tak bisa membaca dari kejauhan, pandangannya pun berbayang. Namun, ia tak pernah tahu, kapan kiranya ia bisa memiliki kacamata.

Adalah Udin. Yang kisahnya dituturkan Elhaq, teman sebangkunya. Satu-satunya teman yang dipercaya untuk mendengarkan kisah hidupnya. Yang ia tak tahan untuk tidak mencurahkannya kembali kepada saya. Terbata dan sesak ia tahan. Dan saya pun menangkapnya segera, untuk saya urai dalam tulisan ini. Agar menjadi hikmah yang bisa dibagi.

Adalah Udin. Teman Elhaq yang namanya saya samarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar