Jumat, 11 November 2011

LIMARATUS PERAK


Bandung yang siang itu basah dan dingin, tak menyurutkan tangan saya untuk segera membereskan packing barang yang akan saya kirim. Pesan dari customer harus dikirim via Kantor Pos. 

Berhubung saya juga ada acara keluar di daerah Cimindi, maka saya pikir sekalian mampir kantor pos. Lebih hemat waktu, tenaga dan biaya. Maka srat sret … saya sibuk pasang lakban coklat di kardus berisikan barang-barang pesanan.

Saya memiliki kebiasaan yang kurang bagus. Saya tidak terbiasa membawa dompet. Uang seringkali berada di saku baju gamis saya, atau jika membawa uang agak banyak, saya masukkan ke dalam tas. Tanpa dompet. KTP dan surat-surat juga saya masukkan dalam tas, saya tempatkan di lapis-lapis tertentu yang saya yakin keamanannya.

Di siang itu, saya bergegas keluar dengan menenteng kardus besar. Dari depan rumah angkot biru terlihat melintas, segera saya hentikan. Dengan dibantu oleh tukang ojeg yang biasa mangkal di depan rumah saya, tergopoh saya naik angkot jurusan Pasar Atas tersebut.

Di Perempatan Citeureup saya berhenti, dan membayar ongkos senilai Rp. 1.500,-, saya berganti angkot orange, jurusan Padalarang. Angkot ini melintasi Kantor Pos. Saya turun tepat di depan kantor Pos dan menyerahkan uang senilai Rp. 2.000,- kepada sopir angkot.
“Nuhun, ya, Pak …,” kata saya.
“Sami-sami, neng …,” kata sopir angkot sopan.

Saya segera antri di loket untuk menimbang paket kiriman saya. Dan setelah ditimbang, tersebutlah bahwa ongkos kirim adalah Rp. 63.500,- Saya serahkan ongkos kirim pas, tanpa pengembalian. Dengan lega, saya keluar dari kantor pos.  Setelah menyeberang, sembari menunggu angkot hijau  arah Bandung, saya buka-buka tas. Saya tersadar seketika begitu melihat isi tas, ternyata uang ‘utuh’ saya tinggal 50 ribu. Receh di saku gamis saya tinggal 3000 rupiah. Padahal di Cimindi nanti saya harus membayar beberapa tagihan. 

Maka saya kembali menyeberang jalan dan mencegat angkot arah CImahi Mall. Di sana ada ATM Centre.
Saya turun di Cimol (kami sering menyebutnya demikian), dan saya keluarkan uang Rp. 1.500,-. Legalah hati saya setelah beberapa lembar uang limapuluhribuan sudah saya pegang. Dengan ringan saya kembali menyeberang ke Pasar Antri dan mencegat angkot hijau arah Bandung.

Saya buka jendela angkot dan menikmati angin yang menerpa wajah saya dengan aroma kesegarannya. Maklum, hujan baru saja berhenti.  Saya perhatikan orang-orang yang berada dalam satu mobil angkot dengan saya. Di depan saya ada seorang mahasiswa Unjani (terlihat dari jaket almamaternya), duduk gelisah dengan bolak-balik melihat jam tangannya. Mungkin dia sedang terkejar agenda hingga mobil angkot yang berjalan dengan tersendat-sendat sembari mencari penumpang terasa semakin membuatnya terlihat bĂȘte. Di pojok depan, tepat di belakang sopir, duduk seorang ibu yang sepertinya habis kulakan dagangan dari Pasar Antri. Bersandar beliau di jendela angkot. Tatapannya tak beranjak dari pintu angkot. Seorang lagi, perawat yang bekerja di Rumah Sakit Mitra Kasih, terlihat dari logo rumah sakit yang terpasang di lengan bajunya. Dia mendekap map, duduk membungkuk menahan dinginnya udara yang menerpanya. 

Ketika angkot sampai di perempatan Cihanjuang, mahasiswa yang berada di depan saya minta turun. Dia angsurkan uang Rp. 1.500,- kepada pak sopir.
“Kurang, A’ …,” kata sopir tersebut pada mahasiwa yang begitu memberikan uangnya, langsung pergi dan tak menoleh lagi. Bisingnya lalulintas membuatnya tak hendak menoleh oleh panggilan pak sopir. Atau memang dia sengaja menulikan telinganya?

Menyadari penumpangnya tak mungkin memberikan ongkos lebih lagi, … maka pak sopir membanting uang Rp. 1.500,- tersebut keras-keras di dashboard tempat uang recehnya berserakan. Kelihatan sekali pak sopir marah.

Saya hanya menyaksikan tanpa banyak kata, karena pemandangan seperti ini sudah sangat sering saya saksikan sehari-hari.

Angkot ngetem sebentar di dekat Rumah Sakit Cibabat. Karena tak ada penumpang yang naik, maka angkotpun beranjak, meski dengan enggan.

Masih dalam keterdiaman, masing-masing penumpang sibuk dengan pikirannya sendiri. Hingga ketika sampai di Rumah Sakit Mitra Kasih, turunlah perawat yang mendekap mapnya sedari tadi. Ternyata gadis perawat ini tak memiliki uang kecil. Diberikannya uang limapuluhribuan kepada pak sopir.
“Teu aya’ angsulanana atuh, Neng … ,” ketus banget pak sopir berkata pada perawat tersebut.
“Aduh, Pak,… saya juga tidak ada receh,… ,” dengan wajah memelas perawat tersebut mencoba menjelaskan.
“Ngan duarebu we mayar ku limapuluhrebuan. Ngahina teh  tong kabina-bina …,” sembari melempar keluar jendela uang limapuluh ribuan tersebut, pak sopir menginjak gas dalam-dalam. 

Masih saya lihat wajah perawat yang pucat pasi. Pasti reuwas itu hatinya. Dan yang jelas malu.
Terkesiap saya. Tiba-tiba saya teringat, uang receh saya juga tidak banyak. Waktu dari Kantor Pos, tinggal seribuan dua dan limaratusan dua. Tigaribu semuanya. Seribu limaratus sudah saya bayarkan ketika saya ke ATM. Berarti, uang receh saya tinggal Rp. 1.500,- Dan uang sisa saya hanya uang limapuluhribuan semua. Mungkin wajah saya menjadi pias, ketika saya ingat perlakuan pak Sopir pada penumpang-penumpang sebelumnya. Saya segera aduk-aduk isi tas, berharap ketemua uang seribuan aTau paling tidak sekeping uang limaratusan. Tapi, rupanya rejeki saya kurang bagus. Tak saya temukan apa yang saya cari. Padahal Cimindi akan sampai sebentar lagi.

Pandangan saya pun beralih ke ibu-ibu yang ada dibelakang sopir. Saya bergeser mendekatinya. Saya ucapkan salam dengan pelan. Beliau menoleh dan tersenyum ramah.

“Ibu, punteun … bilih aya, …tiasa ngalironan artos ku receh?”  dengan penuh harapan saya bertanya.
“Sabaraha, Neng?” jawab beliau.
Saya segera keluarkan uang limapuluh ribuan.
“Eleuh.. eleuh,.. ari sakitu mah teu aya, Neng. Ayana oge ngan tujuhbelas rebu. Da ibu nembe wae balanja, tos teu aya deui artosna,” jawabannya sungguh membuatku lemes.

Ibu yang ramah ini sepertinya memahami perasaan saya. Kami sama-sama menyaksikan dua orang penumpang sebelum kami menjadikan pak sopir uring-uringan. 

Saya ceritakan kalau uang receh saya hanya tinggal seribulimaratus, sementara selain itu, saya hanya memiliki uang limapuluh ribuan. 

“Oh,.. ari ngan limaratus perak mah, ibu aya, Neng …,” beliau membuka dompet kecilnya bergambar logo toko emas.
Beliau mengangsurkan dengan setengah memaksa kepingan limaratus rupiah tersebut kepada saya. Saya sungguh bingung. Mau menerima kok kebangeten, tidak diterima, pastinya saya akan di damprat habis-habisan sama pak sopir. Sementara jembatan layang Cimindi sudah mulai terlihat tak jauh di depan.
Rupanya ibu tersebut melihat keragu-raguan saya. Semakin diangsurkan kepingan uang 500 rupiah tersebut. Dengan hati yang bercampur aduk, saya pun menerimanya.

Tak terperi perasaan saya saat itu. Serasa terlepas dari himpitan beban yang berat. Ucapan terimakasih dan tentu doa bagi ketulusan ibu tersebut bertubi-tubi saya ucapkan. 

Luar biasa, Alloh SWT mentarbiyah saya hari itu dengan kepingan uang 500 rupiah, melalui sosok ibu tersebut. Saya teringat, bahwa diantara amaliyah manusia, ada yang ternyata berbobot luar biasa sehingga menjadi penyelamat baginya di yaumul hisab. Dan itu bisa jadi bukan amaliyah yang sedemikian berartinya bagi pelakunya. Bisa jadi baginya hanya sekedar amaliyah ringan, namun di mata Alloh memiliki nilai yang sangat berat.

Saya berdoa, semoga kepingan uang 500 rupiah dari ibu yang saya tak sempat mengenalnya lebih jauh  tersebut, akan menjadi amalan yang akan menajdi pembelanya di akhirat nanti. 
Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar