Bandung yang siang itu basah dan dingin, tak menyurutkan
tangan saya untuk segera membereskan packing barang yang akan saya kirim. Pesan
dari customer harus dikirim via Kantor Pos.
Berhubung saya juga ada acara keluar di daerah Cimindi, maka
saya pikir sekalian mampir kantor pos. Lebih hemat waktu, tenaga dan biaya.
Maka srat sret … saya sibuk pasang lakban coklat di kardus berisikan
barang-barang pesanan.
Saya memiliki kebiasaan yang kurang bagus. Saya tidak
terbiasa membawa dompet. Uang seringkali berada di saku baju gamis saya, atau
jika membawa uang agak banyak, saya masukkan ke dalam tas. Tanpa dompet. KTP
dan surat-surat juga saya masukkan dalam tas, saya tempatkan di lapis-lapis
tertentu yang saya yakin keamanannya.
Di siang itu, saya bergegas keluar dengan menenteng kardus
besar. Dari depan rumah angkot biru terlihat melintas, segera saya hentikan.
Dengan dibantu oleh tukang ojeg yang biasa mangkal di depan rumah saya,
tergopoh saya naik angkot jurusan Pasar Atas tersebut.
Di Perempatan Citeureup saya berhenti, dan membayar ongkos
senilai Rp. 1.500,-, saya berganti angkot orange, jurusan Padalarang. Angkot
ini melintasi Kantor Pos. Saya turun tepat di depan kantor Pos dan menyerahkan
uang senilai Rp. 2.000,- kepada sopir angkot.
“Nuhun, ya, Pak …,” kata saya.
“Sami-sami, neng …,” kata sopir angkot sopan.
Saya segera antri di loket untuk menimbang paket kiriman
saya. Dan setelah ditimbang, tersebutlah bahwa ongkos kirim adalah Rp. 63.500,-
Saya serahkan ongkos kirim pas, tanpa pengembalian. Dengan lega, saya keluar
dari kantor pos. Setelah menyeberang, sembari
menunggu angkot hijau arah Bandung, saya
buka-buka tas. Saya tersadar seketika begitu melihat isi tas, ternyata uang
‘utuh’ saya tinggal 50 ribu. Receh di saku gamis saya tinggal 3000 rupiah. Padahal
di Cimindi nanti saya harus membayar beberapa tagihan.
Maka saya kembali
menyeberang jalan dan mencegat angkot arah CImahi Mall. Di sana ada ATM Centre.
Saya turun di Cimol (kami sering menyebutnya demikian), dan
saya keluarkan uang Rp. 1.500,-. Legalah hati saya setelah beberapa lembar uang
limapuluhribuan sudah saya pegang. Dengan ringan saya kembali menyeberang ke
Pasar Antri dan mencegat angkot hijau arah Bandung.
Saya buka jendela angkot dan menikmati angin yang menerpa
wajah saya dengan aroma kesegarannya. Maklum, hujan baru saja berhenti. Saya perhatikan orang-orang yang berada dalam
satu mobil angkot dengan saya. Di depan saya ada seorang mahasiswa Unjani
(terlihat dari jaket almamaternya), duduk gelisah dengan bolak-balik melihat
jam tangannya. Mungkin dia sedang terkejar agenda hingga mobil angkot yang
berjalan dengan tersendat-sendat sembari mencari penumpang terasa semakin
membuatnya terlihat bĂȘte. Di pojok depan, tepat di belakang sopir, duduk
seorang ibu yang sepertinya habis kulakan dagangan dari Pasar Antri. Bersandar
beliau di jendela angkot. Tatapannya tak beranjak dari pintu angkot. Seorang
lagi, perawat yang bekerja di Rumah Sakit Mitra Kasih, terlihat dari logo rumah
sakit yang terpasang di lengan bajunya. Dia mendekap map, duduk membungkuk
menahan dinginnya udara yang menerpanya.
Ketika angkot sampai di perempatan Cihanjuang, mahasiswa
yang berada di depan saya minta turun. Dia angsurkan uang Rp. 1.500,- kepada
pak sopir.
“Kurang, A’ …,” kata sopir tersebut pada mahasiwa yang begitu
memberikan uangnya, langsung pergi dan tak menoleh lagi. Bisingnya lalulintas
membuatnya tak hendak menoleh oleh panggilan pak sopir. Atau memang dia sengaja
menulikan telinganya?
Menyadari penumpangnya tak mungkin memberikan ongkos lebih
lagi, … maka pak sopir membanting uang Rp. 1.500,- tersebut keras-keras di
dashboard tempat uang recehnya berserakan. Kelihatan sekali pak sopir marah.
Saya hanya menyaksikan tanpa banyak kata, karena pemandangan
seperti ini sudah sangat sering saya saksikan sehari-hari.
Angkot ngetem sebentar di dekat Rumah Sakit Cibabat. Karena
tak ada penumpang yang naik, maka angkotpun beranjak, meski dengan enggan.
Masih dalam keterdiaman, masing-masing penumpang sibuk
dengan pikirannya sendiri. Hingga ketika sampai di Rumah Sakit Mitra Kasih,
turunlah perawat yang mendekap mapnya sedari tadi. Ternyata gadis perawat ini
tak memiliki uang kecil. Diberikannya uang limapuluhribuan kepada pak sopir.
“Teu aya’ angsulanana atuh, Neng … ,” ketus banget pak sopir
berkata pada perawat tersebut.
“Aduh, Pak,… saya juga tidak ada receh,… ,” dengan wajah
memelas perawat tersebut mencoba menjelaskan.
“Ngan duarebu we mayar ku limapuluhrebuan. Ngahina teh tong kabina-bina …,” sembari melempar keluar
jendela uang limapuluh ribuan tersebut, pak sopir menginjak gas dalam-dalam.
Masih saya lihat wajah perawat yang pucat pasi. Pasti reuwas
itu hatinya. Dan yang jelas malu.
Terkesiap saya. Tiba-tiba saya teringat, uang receh saya
juga tidak banyak. Waktu dari Kantor Pos, tinggal seribuan dua dan limaratusan
dua. Tigaribu semuanya. Seribu limaratus sudah saya bayarkan ketika saya ke
ATM. Berarti, uang receh saya tinggal Rp. 1.500,- Dan uang sisa saya hanya uang
limapuluhribuan semua. Mungkin wajah saya menjadi pias, ketika saya ingat
perlakuan pak Sopir pada penumpang-penumpang sebelumnya. Saya segera aduk-aduk
isi tas, berharap ketemua uang seribuan aTau paling tidak sekeping uang
limaratusan. Tapi, rupanya rejeki saya kurang bagus. Tak saya temukan apa yang
saya cari. Padahal Cimindi akan sampai sebentar lagi.
Pandangan saya pun beralih ke ibu-ibu yang ada dibelakang
sopir. Saya bergeser mendekatinya. Saya ucapkan salam dengan pelan. Beliau
menoleh dan tersenyum ramah.
“Ibu, punteun … bilih aya, …tiasa ngalironan artos ku
receh?” dengan penuh harapan saya bertanya.
“Sabaraha, Neng?” jawab beliau.
Saya segera keluarkan uang limapuluh ribuan.
“Eleuh.. eleuh,.. ari sakitu mah teu aya, Neng. Ayana oge
ngan tujuhbelas rebu. Da ibu nembe wae balanja, tos teu aya deui artosna,”
jawabannya sungguh membuatku lemes.
Ibu yang ramah ini sepertinya memahami perasaan saya. Kami
sama-sama menyaksikan dua orang penumpang sebelum kami menjadikan pak sopir
uring-uringan.
Saya ceritakan kalau uang receh saya hanya tinggal
seribulimaratus, sementara selain itu, saya hanya memiliki uang limapuluh
ribuan.
“Oh,.. ari ngan limaratus perak mah, ibu aya, Neng …,”
beliau membuka dompet kecilnya bergambar logo toko emas.
Beliau mengangsurkan dengan setengah memaksa kepingan
limaratus rupiah tersebut kepada saya. Saya sungguh bingung. Mau menerima kok
kebangeten, tidak diterima, pastinya saya akan di damprat habis-habisan sama
pak sopir. Sementara jembatan layang Cimindi sudah mulai terlihat tak jauh di
depan.
Rupanya ibu tersebut melihat keragu-raguan saya. Semakin
diangsurkan kepingan uang 500 rupiah tersebut. Dengan hati yang bercampur aduk,
saya pun menerimanya.
Tak terperi perasaan saya saat itu. Serasa terlepas dari
himpitan beban yang berat. Ucapan terimakasih dan tentu doa bagi ketulusan ibu
tersebut bertubi-tubi saya ucapkan.
Luar biasa, Alloh SWT mentarbiyah saya hari itu dengan
kepingan uang 500 rupiah, melalui sosok ibu tersebut. Saya teringat, bahwa
diantara amaliyah manusia, ada yang ternyata berbobot luar biasa sehingga
menjadi penyelamat baginya di yaumul hisab. Dan itu bisa jadi bukan amaliyah
yang sedemikian berartinya bagi pelakunya. Bisa jadi baginya hanya sekedar
amaliyah ringan, namun di mata Alloh memiliki nilai yang sangat berat.
Saya berdoa, semoga kepingan uang 500 rupiah dari ibu yang
saya tak sempat mengenalnya lebih jauh
tersebut, akan menjadi amalan yang akan menajdi pembelanya di akhirat
nanti.
Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar