Dengan gelisah kakiku berkecipak di air yang mengalir deras
di bawah batu tempatku menunggu. Jernih airnya, berhias rumput-rumput liar yang
aku tahu, di baliknya banyak ikan-ikan sejenis wader, lele atau sekedar impun
bersembunyi. Jika bukan kerena aku sudah memiliki agenda lain, pasti sudah aku
obok-obok tempat itu. Tapi, berhubung ada yang lebih penting lagi, aku pun
mengacuhkannya.
Terasa pegal leherku melongok-longok, memastikan
kedatangannya. Aku pun bosan membuang waktuku dengan memotong-motong onthel kering–bunga pohon keluwih- dan
menghanyutkannya pada sungai kecil yang airnya mengalir di bawahku. Rasanya
sepulang sekolah tadi, aku tidak salah mendengar, bahwa kami akan bertemu di
tempat ini. Di bawah pohon keluwih di samping pancuran yang airnya tak pernah
mengering meski kemarau panjang mendera desaku.
Bosan menunggu, maka aku pun turun ke pematang sawah.
Menyusurinya kemudian naik ke tebing yang tidak begitu tinggi. Aku berniat
mengambil daun talas terlebih dahulu,
sehingga waktuku tidak terbuang percuma. Dengan tangan kosong, aku memetik 5 daun talas yang lebar-lebar itu. Aku rasa
cukup untuk menaruh hasil pekerjaan kami nanti.
Ketika dengan riangnya aku turuni tebing, aku melihat
seseorang sudah menungguku di tempat aku duduk tadi. Hmm, … sudah datang
rupanya dia, batinku. Bergegas aku menyusuri pematang.
“Ke mana saja sih,..” gerutuku menyapanya.
“Biasa, menunggu simbok tidur dulu,” santai sekali dia
menjawab.
Kalau jawabannya sudah seperti itu, aku tak akan bisa
membantahnya. Setahuku, tak ada yang sanggup melawan tatapan sadis simboknya,
meski tak pernah ada kata-kata sempat aku dengar dari mulutnya. Yang aku tahu,
cukup dengan tatapan matanya, semua orang akan terbirit-birit karenanya.
Maka, kami pun tak membuang waktu lagi. Segera kami
beriringan menyusuri pematangsawah yang baru saja di panen. Panas terik
bukanlah penghalang. Yang jelas, kami harus segera sampai ke pesawahan di
sebelah tempuran –tempat bertemunya dua aliran sungai menjadi satu-. Jika tidak
segera, bisa-bisa kami tidak kebagian wilayah. Kami khawatir, anak-anak dari
sebelah Barat Sungai akan menguasai semuanya.
Di area pesawahan yang belum digarap itu, tanpa ragu, dengan
hanya mengenakan kaos singlet dan celana pendek aku terjun. Mataku jeli melihat
titik-titik bekas gelembung udara pada tanah basah pesawahan tersebut. Tanganku
dengan cekatan akan mengaisnya. Dan sangat sedikit kemungkinan tebakanku
meleset. Seringkali tanganku akan memperoleh hasil yang menggembirakan. Seekor
belut, besar atau kecil, menggeliat-geliat dan akhirnya terdiam setelah aku
banting-banting ke pematang. Tak begitu lama, daun talas yang aku bawa tadi,
sudah penuh dengan hasil perburuanku dengan karibku, Supriatno. Dia juga seorang pemburu belut yang ulung. Tak
sekedar mencarinya di permukaan sawah, bahkan lubang-lubang di pematangpun dia
korek dan hasilnya memang tak mengecewakan.
“Yu, pulang, yuk..” sambil menyeka lumpur di keningnya dia
mengajakku pulang. Matanya memandang ke arah matahari, memastikan bahwa dia
tidak akan terlambat pulang.
Karena kasihan, aku pun mengiyakan. Sebenarnya aku masih
menikmati acara perburuan itu, tapi aku menyadari bahwa Supri –demikian aku
memanggilnya- bisa jadi bulan-bulanan Simboknya kalau sampai terlambat pulang. Sementara aku
sendiri belum mengisi gentong persediaan air minum di rumah. Sepertinya memang
harus berakhir perburuan belutku kali ini. Lagi pula, hasilnya sudah cukup
memadai.
Dengan sigap kami keluar dari arena yang penuh lumur tersebut
utuk kemudian menceburkan diri di sungai.
“Yu, … tolong bawakan bajuku ya, aku mau ke kedung sebelah barat, “ Supri berteriak
sambil berlari ke arah Barat.
Walau dengan menggerutu aku ambil baju kumal kami dari batang
pohon mahoni yang tidak begitu tinggi. Aku pun menyusulnya, tapi berhubung aku
tidak berani mandi di kedung yang terlalu dalam, aku memilih untuk mandi di
cekungan terdekat yang kedalamannya tidak begitu membahayakan. Segar sekali
mandi di sungai. Airnya bersih, arusnya pun tidak begitu kencang, mengingat
musim kemarau begini, debit air sungai juga menyusut.
Meskipun demikian, kami tidak bisa berlama-lama bermain di
sungai. Segera kami pulang dengan keriangan. Lompatan-lompatan kaki kecil kami
menyusuri pematang. Aku tahu, kami harus
segera sampai rumah, jika tidak mau menerima tatapan mata dari simboknya Supri. Sepertinya aku lebih rela menerima cubitannya
daripada ditatap sedemikian rupa.
Supri, seorang anak lelaki yang baik hati. Anak juragan mobil
angkutan desa. Ada tiga mobil yang dimiliki orangtuanya. Bagi ukuran kampungku,
itu sudah luar biasa. Selain itu, sawahnya banyak terbentang dari ujung ke
ujung, bersebelahan dengan sawah orangtuaku.
Keluarga yang kaya raya, setidaknya begitulah menurutku. Aku selalu
takjub jika masuk rumah Supri. Lantainya yang disemen mengkilap, gorden-gorden
anggun menari tersapu angin menutup jendela-jendela rumahnya yang banyak. Belum
lagi, televisi hitam putih 14 inc menghiasi atas buffet yang cantik, yang
berisikan gelas, piring dan cangkir yang indah sekali. Ketika aku ikut nonton
acara TV bersama tetangga-tetangga yang lain, aku tak henti mengagumi setiap
sudut rumah Supri. Menyenangkan sekali. Satu-satunya yang menjadikan aku enggan
berlama-lama di sana adalah tatapan mata Simbok Supri yang mengerikan. Itu
saja.
Pertemanan kami terjadi karena kami bertetangga dekat. Kata
orangtua, kami laksana mimi lan mintuno.
Kemana-mana selalu bersama. Main layang-layang, mencari ikan di sungai, berburu
belut, mencari daun sembukan dan lamtoro
untuk dibotok, mencuri mangga punya kakeknya dan lain sebagainya, selalu
kami lakukan bersama.
Kami hanya berpisah ketika kami sekolah saja. Dia bermain
bersama dengan anak laki-laki, sementara aku bermain betengan, petak umpet,
lompat tali dengan teman-teman perempuan. Tapi, begitu sekolah bubar, kami
berjalan bersama-sama lagi pulang.
Begitulah masa kecil kami lewati hingga kami lulus SD.
Memasuki SMP, kami terpisah kelas. Mungkin karena pergaulan
yang semakin luas, maka kami pun mulai terpisah kebersamaannya. Jika belajar,
masih sering kami bertemu. Di rumahku atau di teras rumahnya. Tapi seiring
pertumbuhan kami, baik fisik maupun psikis, dengan teratur jarak pun
terbentang. Tapi, tak ada sesuatu yang
terganjal antara kami, segalanya
berjalan apa adanya. Proses alami kami lalui, aku mendapatkan tamu bulanan, dia
pun dikhitan. Tentu segalanya sudah berbeda.
Suratan mengantarku
melangkahkan kaki lebih jauh lagi. Menempuh perjalanan, mengejar keinginan,
menemukan berjuta pengalaman. Silih berganti sosok teman mengiringi, datang dan
pergi. Hatiku terpenuhi bilik-bilik tempat bersemayamnya semua sosok yang
terkirim dalam hidupku. Warna-warninya menjadikanku merasa tiap-tiap sosok
adalah penting. Warna-warni itu menetap, jadi meski ada keinginan untuk menghapusnya,
pahatan itu sudah terukir jelas, menjadikan ruang hatiku tak bisa digeser dan
dipola kembali.
Berbilang tahun, usia pun bergulir…
Tak akan terulang manisnya kecipak air sungai, karena sungai
sudah semakin dangkal.Airnya keruh. Sawah-sawah yang terbentang sudah berdiri
rumah-rumah. Kehijauan gunung yang melingkupi desaku telah meranggas tertebang
oleh perluasan tanah ladang. Jika masih ada yang bisa dikenang adalah sisa-sisa
batu besar yang dulu pernah dijadikan tempat alas sholat bagi petani-petani di
sawah. Itu pun tidak banyak. Karena sebagian besar sudah menjadi mangsa tukang
batu, terpecah-pecah menjadi pondasi
rumah-rumah mewah di atas keringnya tanah sawah, yang aku ingat, dulu selalu
basah.
Pohon keluwih pun sudah ditebang, berganti dengan pohon
mangga yang buahnya tidak begitu lebat. Untunglah, setidaknya masih ada tempat
untuk berteduh.
Semilir angin kerontang, menjadikanku tak jenak menunggu.
Yah… ditempat yang sama, berpuluh tahun yang lalu aku juga menunggu.
Tadi pagi, ketika aku berkesempatan pergi ke pasar
tradisional –tempat berjuta kenanganku terukir-, aku menjumpainya di tempat
pemarutan kelapa yang ramai sekali. Ternyata dia pemiliknya.
“Hai…, sombongnya yang sudah jadi boss,” masih dengan gayaku
aku pukul –sengaja aku keraskan- punggungnya. Dia yang sedang sibuk memilah
uang berdasar besarannya, tentu terkejut.
“Walah Yu, … jantungen aku,” dia tidak pura-pura, memang ada
keterkejutan di sana.
“Sini, sini… duduk. Mau wedang, Yu?” Hmm.., hangat hatiku
mendengar panggilannya kepadaku tetap tak berubah. Yu, … dari kata Mbakyu.
Karena dari silsilah keluarga yang sudah jauh dari kami pahami, aku jatuh lebih
tua dari dia. Walaupun kenyataannya, dia lahir 3 bulan lebih awal dari aku.
“Sudahlah, … aku nonton aja,” aku mengelak, karena aku lihat
dia begitu repotnya. Sementara aku pun harus segera membawa pulang hasil
belanjaanku.
“Kapan balik?” tanyanya. Aku tahu, kalau seperti itu, pasti
dia ada sesuatu yang ingin di sampaikan.
“Harus segera, sih… aku harus mampir-mampir. Ya sudah, sore
ba’da Ashar ya, di pancuran,” aku membuat janji. Dia langsung mengiyakan.
Maka, di sini…
Meski tanpa kecipak air lagi, aku berharap suasananya akan
mendorong terungkapnya semua tanyaku
setiap pulang ke rumah Bapak Ibu.
Seorang Supri, yang sudah menjadi bagian hidup di masa
kecilku. Sosok yang tegap, dengan otot tertonjol di sana sini menandakan dia
adalah pekerja keras. Setiap kepulanganku, selalu ada hal baru yang dia
lakukan. Dari menjadi juragan ayam potong, juragan bakso, pemasok berbagai
jenis sosis, beternak bebek, dan terakhir dia menjadi boss pemarutan kelapa.
Ayahnya sudah meninggal, kakak-kakaknya juga sudah menikah.
Tinggallah dia seorang merawat sang Simbok yang tergolek lemah karena serangan
stroke yang dideritanya. Seorang simbok, yang tak ada kenangan manisku
bersamanya kecuali hanya tatapan mengerikan yang tertanam kuat dalam ingatanku.
Namun, kini dalam kerentaannya, aku melihat tatapannya yang nelangsa. Setiap
aku menjenguknya, keluhnya selalu sama.
“Supri belum menikah, Nduukk… ndak tahu, kok ndak mau melulu.
Coba to Nduk, kamu tanya. Maunya itu apa? Lha wong sudah semakin tua …” panjang
lebar keluhnya tentang si bungsu teman masa kecilku.
Dan tentu di setiap kepulanganku, tanya itu aku sampaikan.
Tetap tak berjawab, hanya barisan giginya yang rapi terpamerkan lewat tawa
lebarnya. Begitu juga ketika aku pamer padanya keempat anak-anakku yang sudah
beranjak dewasa. Bukanlah jawab yang aku dapat, justru keempat anak-anakku
semakin tebal dompetnya karena ‘cecepan’ si Om yang baik hati.
Hmm…, Supri.
“Sudah lama ya, Yu…” tiba-tiba dia sudah ada di belakangku.
Spontan aku menoleh. Dia mengambil tempat di sebelahku, disodorkannya bungkusan
yang setelah aku buka ternyata isinya gandhos (ketan bercampur kelapa,
digoreng). Masih hangat.
Aku comot sebuah. Nikmat. Masih kenikmatan yang sama.
“Gandhosnya mbah Sinem, ya…” tebakku.
“Iya. Hebat ya…, awet muda tuh mbak Sinem. Dari kita kecil
jualan gandhos sampai sekarang, tak banyak berubah. Tetap gesit dan cantik.”
Jawabnya. Aku hanya manggut-manggut mengiyakan. Hal yang sama ingin aku ungkapkan,
tentang sosk mbah Sinem yang kecantikan dan kegesitannya tak banyak berubah.
“Iya, mbah Sinem sih
awet muda. Lha wong anak-anaknya sudah mentas semua. Tapi kita tidak akan awet
kecil lho, karena kita akan semakin tua tua.” Aku berharap dia segera tanggap.
Dan benarlah, maka tanpa membuang waktu, mengalirlah apa yang selama ini
menjadi tanyaku.
“Aku wandu, Yu…”
lirih ucapnya, tapi laksana petir di siang bolong bagiku. Mungkin pucat pasi
wajahku, karena aku bisa merasakan piasnya seketika.
“Kaget, kan?” Sambil tersenyum dia mencoba memaklumiku. Tapi,
terlihat sekali dia menahan keperingan dari setiap bahasa wajahnya, mata,
senyum, bahkan gerak geriknya.
Ada yang perih mengalir di hatiku juga.
“Tidak ada yang tahu lho, Yu. Cuma kamu yang aku kasih tahu.
Tidak ada yang mengerti, di balik kokohnya tubuhku, aku bukan laki-laki. Aku
mencoba menepisnya sejak dulu, tapi tidak pernah berhasil. Aku memang tidak
gemulai, makanya tidak ada yang mengira demikian. Tapi aku tahu jiwaku. Jiwaku
bukan laki-laki.” Dengan lancar akhirnya dia sanggup berkata-kata.
Justru kini aku yang terdiam. Aku pandangi sosok di
sampingku. Tegap, gagah. Tak ada gerak-gerik yang gemulai. Pekerjaannya selama
ini juga berkisar di area ‘per-otot-an’. Kerja lapangan, istilah dia.
Benar-benar mengandalkan kemampuan fisik.
Aku mencoba menggali kenangan masa kecilku, hingga kami
baligh. Rasanya tidak ada yang aneh. Semua khas pergaulan anak kecil di
kampungku. Semua menyenangkan.
“Aku tidak bisa menikah, Yu. Hatiku tidak pernah bisa
mencintai perempuan. Aku tidak pernah tertarik, secantik apapun dia. Kalau aku memaksakan diri, aku khawatir malah
tidak bagus.” Urainya lagi. Aku masih terdiam. Menunggunya menuntaskan
uneg-unegnya.
Hal yang mungkin terjadi, dengan sosok, wajah dan harta yang
dia miliki sekarang, aku yakin, gampang baginya kalau hanya sekedar mencari
istri. Dan kabarnya memang sudah beberapa orang yang menawarkan diri padanya.
“Biarlah, hidupku mungkin digariskan demikian. Aku mencoba
menerimanya dengan ikhlash kok. Aku tidak macam-macam. Aku juga tidak melacur.
Yang penting hidup kan sadermo ngelakoni. Aku pikir ya…, inilah ujianku. Dengan
diuji seperti ini, aku lulus apa tidak.”
Aku kian tercekat.
“Sudahlah, Yu… tidak usah digagas. Simbok juga sudah
bolak-balik nanya. Tapi, apa ya bisa ngerti kalau aku jelaskan. Tentunya malah
bikin dia bingung. Malah sedih.”
Kini aku tergugu. Susah sekali menahan isakku.
“Tidak usah sedih. Aku janji. Aku bakalan lulus kok. Ujian
dari Yang Maha Kuasa buat aku memang harus begini. Minta do’anya saja. Semoga
aku dikuatkan. Biar aku bisa berbuat kebaikan dalam sisa umurku. Tidak apa-apa
kalau aku harus tidak punya keturunan, toh ponakanku juga sudah banyak, kan?”
dia malah berusaha mencandaiku.
Justru itu semakin membuatku pilu.
“Sudah, ah… Aku tidak mau bikin sedihmu, Yu. Percayalah, aku
bisa lulus.” Dia mengulangi dan menegaskan janjinya.
Kerontang angin makin membuat hatiku perih. Akan kusimpan rapi
segenap pengakuannya.
Aku paham, bagi lingkungan kami apa yang dialaminya bisa jadi
aib. Tapi ternyata Supri menganggapnya sekedar ujian hidup. Tiap-tiap manusia
diuji sesuai dengan kadar kemampuannya. Dan dia begitu yakin, dia mampu
melampauinya.
Duh… Gusti. Semoga keyakinannya sanggup memberinya
kebahagiaan.
Perlahan aku pergi, meninggalkannya dengan bungkusan
gandhosnya yang belum habis. Surya semakin memancarkan kemerahan di garis
cakrawala. Masih tetap, tenggelamnya di sela gunung Bayang Kaki. Tak berubah,
dalam bilangan umurku yang sudah tidak muda lagi. Kesetiaan gunung Bayang Kaki
terhadap Matahari yang pasti akan kembali ke pangkuannya, menjadikanku
tersadar.
Aku sadar. Apa dan bagaimana Supri, bilik hatiku tak akan
sanggup tergeser oleh sosok yang lain. Dia telah menempatinya sekian lama,
menetap di sana. Justru dengan pengakuannya. Menjadikanku semakin mengerti. Dia
memberiku banyak arti. Demikian juga dia telah menjadikanku mengerti, arti
seorang Supri dalam kehidupan ini.
“Ayo, pulang.
Anak-anakmu pasti mencarimu.” Tiba-tiba dia sudah ada di belakangku, melihatku
termangu menatapi cakrawala. Sepertinya dia paham, bahwa pikiranku terpagut
pada dirinya.
“Anggap saja aku seperti matahari itu. Menggelincir menjalani
laku hidupnya. Mungkin dia berkeinginan tetap memancarkan sinarnya, tapi
apadaya laku hidupnya harus tidur jika menjelang malam. Semua sekedar menjalani
ketentuan-Nya. Kita juga, kan?”
Aku mengangguk. Tak
banyak kata sanggup aku ungkapkan, namun aku yakin, Supri mengerti. Tak pernah
tergeser keberadaannya di dalam hatiku.
Beriringan kami lompati pematang-pematang, meski tak selincah
diwaktu kecil, namun kaki-kaki kami tak pernah salah langkah. Hafal, kemana
harus menuju.
Sahabat, … jemputlah bahagiamu dengan sepenuh keyakinanmu.
Aku hanya sanggup mendoakanmu, dalam untaian panjang dzikir-dzikirku.
Malam kian menebar kelam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar