Minggu, 07 Oktober 2012

Suatu Saat di Ruang UGD


(Catatan akhir tahun 2011)

Tergopoh aku mengurus administrasi dari meja ke meja. Mengisi data-data sedetail yang aku bisa. Sementara suami masih belum balik dari tempat parkir.

"Kelas satu penuh, Bu. Tinggal yang VIP." kata petugas pendaftaran.

Waduh, ... harus berunding dengan suami, deh. Karena jatah rawat inap dari kantor suami memang kelas kami di kelas satu, bukan VIP. Maklum, karyawan biasa. Bukan Manager dan sejenisnya. :).

Kulihat anakku sudah terkulai sedemikian rupa. Memerah pipinya karena panas badan makin meninggi. Lemas dan kelhatan tidak bergairah.

Untunglah, tak lama kemudian suami datang.

"Oke, ambil aja VIP, nanti kita booking kelas satu kalau ada yang kosong." Kata suami. Maka, srat sret, suami membubuhkan tanda tangan di beberapa lembar kertas. Yang penting anak kami segera tertangani dan bisa segera masuk ruangan.

Oh, ... rupanya keteganganku belum selesai. Aku harus menyaksikan anakku kesakitan ketika harus dipasang selang infus. Belum lagi karena tegang, selang infusnya susah masuk ke pembuluh darahnya. Terpaksa harus di coba di lain tempat. Makin sakit tentunya. Sedih sekali.

Aku duduk di sebelah anakku, di sebuah tempat tidur besi,  di antara sekian banyak deretan tempat tidur di ruang UGD sebuah rumah sakit. Menunggu diantar ke ruang perawatan.

Detik-detik berlalu, sangat membosankan. Untuk mengusir kejenuhan, aku edarkan pandangan ke segenap penjuru ruang UGD tersebut. Di sebelah kanan kami, seorang perempuan yang aku taksir usianya menjelang 50 tahunan. Beliau masuk lebih dulu dari kami. Ditunggui oleh seorang perempuan juga, yang kemudian aku ketahui ternyata tetangganya. Wajah pasien tersebut pucat pasi. Sesekali meringis menahan sakit. Tak jarang hingga mengerang sembari menangis.

"Sakit apa, Bu," kutuntaskan rasa keingintahuanku.
"Kurang tahu, Bu. Perut saya kembung, mengeras dan sakit sekali." jawabnya lirih.
"Oh, ... lekas sembuh ya, Bu." kata saya formil sekali. Batinku menduga, si ibu ini sakit semacam lever atau sejenisnya.

Pandanganku beralih ke pojok depan. Tampak seorang ibu di dampingi oleh -mungkin- suaminya. Memakai alat bantu pernafasan. Kelihatan susah sekali menarik nafasnya, -aku duga beliau menderita semacam penyakit Asma-, dan kelihatan lemas. Hingga sekedar menegakkan kepalanya saja harus dibantu oleh suaminya. Aku juga melihat suaminya mondar-mandir mungkin harus mengurus ini itu. Pasien ini juga masuk lebih dulu.

Persis sejajar dengan pasien penderita asma tersebut, ada seorang perempuan yang tak henti-hentinya menangis menahan sakit. Suami yang berada di sebelahnya sampai tak tahu harus berbuat apa. Suaminya mondar-mandir ke ruang jaga dokter dan ke tempat istrinya, sepertinya minta pertolongan dokter atas keluhan istrinya. Dan beberapa kali memang dokter datang, memeriksa, menanyakan keluhannya. Yang jelas, sakit perut, kembung dan uluhati nyeri. Mungkinkah maag?Ketika suaminya bertanya sesuatu pada seorang dokter perempuan yang memeriksanya, terdengar jawaban ketus yang dibarengi dengan bentakan yang membuat suami dan pasien tersebut terdiam seketika. Aku dilanda kebingungan dan tercengang.

Jarak dua tempat tidur dari kami, sesudah ibu yang menderita perut mengeras tadi, ada seorang anak perempuan, usia sekitar 10 tahunan. Terdiam dan meringkuk memeluk bonekanya. Kata orangtua yang menungguinya, dia sakit demam berdarah, panas sudah 4 hari.

Di barisan depan, tertutup tirai-tirai warna hijau muda, terdengar keluhan dan rintihan para pasien, sungguh menyayat hati. Sementara keluarga pasien terlihat hilir mudik dengan wajah-wajah tegang, atau bahkan penuh kegusaran. Rupanya mereka sudah lama terkapar di ruang UGD tersebut tanpa penanganan yang berarti. Ada yang sudah 5 jam menunggu, tapi belum juga masuk ke ruang rawat inap.

Aku pun mulai dihinggapi kegusaran. sudah hampir dua jam menunggu tak juga diantar ke ruangan. Suami juga mulai kehilangan kesabaran. Bolak-balik menanyakan kapan dipindahkan. Tapi jawabab dari para petugas sungguh bikin makin kesal.
"Ruangan belum disiapkan, Pak. Sabar saja. Banyak yang datang lebih dulu dari Bapak, hingga sekarang juga belum pindah." jawab mereka.

Suami pun balik dengan menahan kemarahan. Seberapa lamakah sebenarnya persiapan ruangan itu ? Hingga memakan waktu berjam-jam?

Di tengah kegusaran tersebut, tiba-tiba datang ambulans dengan sirine yang meraung-raung. Serentak terjadilah kesibukan luar biasa karena menangani pasien yang baru datang. Suara tempat tidur yang didorong terdengar riuh ditingkahi langkah-langkah sibuk dari paramedisnya. Juga instruksi ini itu dengan bahasa medis yang kurang aku mengerti. Sementara tangisan pengantar pasien terdengar mengharu biru. Jantungku berdegup kencang. Perhatianku tersita oleh kejadian tersebut. Ada perasaan was-was luar biasa.

Aku lihat pasien didorong ke ruang operasi. Paramedis terlihat berjubel di ruangan tersebut, sementara pengantar pasien bergerombol di lorong depan ruang operasi. Tangisnya masih terdengar. Kulihat di lantai darah berceceran, belum sempat dibersihkan. Mual tiba-tiba menyerang perutku.

Tak lama jeritan menyayat hati terdengar dari keluarga pasien. Ada yang pingsan, ada yang sesenggukan sembari berangkulan. Tak lama, pasien didorong keluar ruangan, menuju belakang. Sepertinya pasien tidak tertolong.

Aku makin tidak nyaman perasaan. Bergegas aku ke ruang petugas UGD. Sekedar menanyakan kepastian penanganan anak kami. Sekilas aku melirik ke ruang operasi yang pintunya masih masih terbuka lebar. Kepalaku pening seketika, ketika aku melihat di lantai darah tergenang banyak sekali. Belum lagi tapak sepatu yang menginjaknya meninggalkan cetakan tapak merah-merah di lantai rumah sakit yang putih.

Rupanya keluhanku tak mendapatkan tanggapan yang aku harapkan. Jawaban dari petugas UGD standart sekali. Sabar dan sabar, ... ruangan belum disiapkan. Aku melihat map berisikan berkas anakku. Tertulis VIP D2. Aku kembali ke tempat tidur anakku.

"Mas, coba cek ruang VIP D2. Benarkah belum disiapkan. Kalaupun ternyata belum, mintalah pada petugas ruangan untuk segera disiapka, Kita sudah menunggu dua jam lebih. Aku sudah tidak kuat lama-lama di sini. Bisa-bisa aku jadi pasien pula lihat kondisi di UGD macam begini." pintaku pada suamiku.

Bergegas suamiku mencari ruangan yang aku maksud.

Tak lama suami muncul dengan wajah merah padam. Terlihat sekali suamiku menahan amarahnya. Dia langsung menuju petugas jaga.

"Siapa bilang ruangan belum siap? Bahkan sejak dua jam yang lalu ruangan menunggu pasien diantar. Mana kursi rodanya, saya antar sendiri anak saya." terdengar suara keras suamiku.
"Oh, iya, Pak. Tunggu sebentar, saya siapkan kursi rodanya. Kami antar segera ke ruangan." Tergopoh-gopoh suara seorang perawat laki-laki menjawabnya.
"VIP D2 bisa berangkat." terdengar instruksi yang telat dari balik meja administrasi.

Dongkolku yang sangat membuat perutku makin mual. Tapi, setidaknya, setelah mengetahui bahwa akhirnya kami akan terlepas dari suasana UGD tersebut, aku pun bersemangat berjalan cepat mendampingi laju kursi roda yang mengantar anakku ke ruang rawat inapnya.

Ampun deh. Rumah sakit pemerintah. Bahkan pasien berkelas VIP pun diperlakukan demikian. Apatah lagi pasien yang berbekal kartu Jampersal, Jamkesmas, atau jamkes-jamkes yang lain? Tanpa bermaksud menyamaratakan petugas-petugas medisnya, tapi keluhan kerap terlontar, bahwa sikap mereka pun kebanyakan kurang ramah.

Ah, ... mending memang jangan sakitlah. Sehat itu memang mahal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar