Minggu, 07 Oktober 2012

JANDA


Apapun penyebabnya, karena kematian,  jatuhnya talaq dari suami atau bahkan adanya khulu' dari istri, maka tetap saja statusnya adalah janda.

Status. Sebegitu berartinya bagi masyarakat, sehingga banyak yang rela bersembunyi di balik tabir kegulitaan demi sebuah status.

Menjadi janda. Siapa yang mau? Aku pun tak hendak. Tapi, demi masa depan Dewi, anakku yang kini tinggal satu-satunya setelah kematian kakaknya beberapa waktu yang lalu, segala upaya kutempuh demi mendapatkan status janda. Kuurus surat kematian suamiku yang sedang berkalang nafsu, yang tak tahu sedang singgah di penjuru sebelah mana, dengan meyakinkan sepenuh keyakinan bahwa dia memang sudah mati.

Ada dan tidak adanya memang tak membawa beda. Kecuali sederet kesengsaraan demi kesengsaraan bagi aku dan anakku.

"Orang lain semua ada bapaknya, ya, Ma. Kalau bapak Dewi di mana?" permataku yang menginjak usia tujuh tahun sering bertanya demikian.
"Bapak Dewi sudah mati." mantap aku menjawabnya.
"Oh, ...," maklumnya tetap menyisakan rasa penasarannya. Biarlah, jika waktunya tiba, pasti dia akan memakluminya.

Surat keterangan kematian sudah aku dapatkan dari pengurus RT dan RW. Tidak susah, karena mereka masih terhitung kerabatku, yang memang sangat mendukung aku mengambil tindakan ini. Mereka sudah di batas permaklumannya pada kelakuan Bapak Dewi, suamiku.

Maka berbekal surat keterangan RT/RW, aku pun mendapat selembar surat keterangan statusku dari kelurahan. Yah, aku berhasil memanipulasi statusku. Dengan berbekal selembar surat kematian suamiku, maka status Dewi adalah anak yatim. Dia berhasil aku masukkan ke sebuah Madrasah tanpa biaya sepeserpun, bahkan Dewi tiap bulan mendapat santunan dari yayasan pemilik madrasah tersebut.Aku juga berhasil mendapatkan sepaket beras raskin dari kelurahan tiap dua bulan sekali, karena aku termasuk janda-janda yang berhak disantuni.

Tentu itu sangat membantuku, karena sebagai seorang buruh di sebuah pabrik konveksi, dengan gaji yang seringnya terpotong di sana sini, memberikan pendidikan yang layak untuk Dewi serasa mimpi. Belum lagi aku harus membiayai orangtuaku yang sudah jompo, yang sehari-hari aku titipi Dewi ketika aku pergi kerja.

Oh, mengapa aku mampu bertindak seperti itu ?

Semua tak lepas dari kelakuan Bapaknya Dewi.

Saat ia meminangku, betapa bangganya aku bersandingkan dengan lelaki gagah dan tampan yang memiliki penghasilan mapan. Keluarga besar pun ikut senang.

Tak lama setelah pernikahan, aku di boyong ke kampung halamannya, di kota Ciamis. Kutinggalkan Bandung dengan segala untaian harap yang membubung. Sampai kelahiran anak pertama, seorang bayi perempuan yang montok dan sehat. Lengkap sudah kebahagiaanku. Hidup di rumah yang sangat layak, berdampingan dengan ibu mertua yang sangat ramah. Kecintaan pada anaknya tertumpah juga padaku sebagai menantu dan anakku sebagai cucunya.

Jamaknya hidup di perkampungan, maka sanak saudara hidup juga berdampingan. Salah seorang sepupunya yang memiliki anak perempuan kelas dua SMP, rumahnya ada di belakang rumah kami. Tiap hari anaknya bermain dengan anakku. Mereka lengket sekali. Aku pun senang-senang saja dengan keakraban 'ponakan' ini dengan anak dan suamiku.

Hingga ketika anakku berusia tiga tahun, aku merasakan perut mual-mual, badan panas dingin. Rupanya sulungku akan mendapatkan adik. Aku sampaikan kabar gembira ini pada suamiku. Anehnya, dia hanya terdiam. Aku tak peka pada keterdiamannya, sehingga ketika suatu sore ia mengungkapkan keinginannya berkunjung ke orangtuaku di Bandung, aku sangat senang sekali.

Dengan semangat, aku kemasi baju alakadarnya. Sekedar untuk baju ganti, sementara yang lebih penting adalah baju-baju sulungku.

Tak lama setelah sampai di Bandung, dia berpamitan.

"Neng, Aa' pulang dulu ya, Neneng puas-puasin saja berkumpul dengan saudara di sini. Nanti Aa' jemput. Ingat, jangan pernah pulang sendiri tanpa dijemput sama Aa'."

Tanpa syak wasangka aku pun mengangguk senang.

Hari berganti pekan, dan pekan pun berganti bulan. Tak ada kemunculan suamiku untuk menjemputku. Uang yang ditinggalkan sekedar untuk uang pegangan, tak sampai sebulan sudah tak berbekas. Sementara kandunganku pun semakin besar.Akhirnya aku melahirkan tanpa suami mengetahui, hanya di dampingi Emakku yang begitu mengerti keadaanku. Bayi perempuan lahir dengan selamat dan sehat, meski selama  aku mengandungnya jiwaku dicekam keprihatinan.

Tahun berganti. Anakku Dewi mulai merangkak, ketika kakaknya tiba-tiba panas tinggi. Aku berlari kian kemari mencari bantuan untuk bisa membawa anakku ke dokter, setelah 3 hari panasnya tidak juga mereda. Dengan kondisi saudara-saudara yang tak kalah kurangnya dengan aku dan emakku, tak banyak yang aku dapatkan. Itu juga butuh waktu seharian. Berbekal uang pinjaman, aku membopong sulungku ke puskesmas. Sepanjang perjalanan, aku melihat bibr birunya menggeletar,  nafasnya juga tersengal.

Mengantri di puskesmas mencoba mendapatkan simpati dari petugas, setidaknya untuk kondisi anakku yang semakin membuat cemas. Rupanya upayaku tak membawa hasil. Karena sebelum nama anakku dipanggil, ia sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.

Duniaku gelap.Dan hari-hariku berhias ratap.

Jika bukan karena Dewi, sulit bagiku untuk bertahan. Dengan mencoba menegakkan kakiku kembali, aku pun berusaha sana sini. Menjadi buruh cuci hingga menjual gorengan berkeliling. Apapun itu, aku lakukan untuk keperluan perutku dan bubur Dewi.

Kukabarkan kematian anakku ke kampung suami, meski aku tidak yakin, benarkah kabar itu akan sampai. Hingga dua bulan kemudian, datanglah ibu mertua dengan tangis penyesalannya.

Beliau bercerita, sekembalinya dari mengantarku, suamiku menyampaikan pada keluarga di Ciamis, kalau aku minta cerai dan tidak mau diajak pulang.

Maka dengan berbekal kisahnya, ia meminang 'ponakan' yang sebelumnya akrab dengan keluargaku. Mereka kini sudah memiliki anak. Suamiku juga tak pernah menceritakan perihal kehamilanku yang kedua.

Runtuh sudah langitku. Dan lagi-lagi, Dewi mejadi penyelamatku. Dengan sisa-sisa kekuatan yang aku miliki, aku datangi suamiku. Aku minta baik-baik 'keadilannya', karena toh orang yang bernasib 'diduakan' tidak hanya diriku. Dan mereka juga bisa. Rupanya suamiku tak mau memandangku sebelah mata. Justru istrinya yang begitu lantang menyampaikan keberatan.

Oke, aku pun minta diceraikan. Kurang ajar sekali apa yang ia katakan.

" Kalau mau kawin lagi, ya kawin saja. Saya tidak akan pernah mengurus perceraian. Dan saya tidak akan pernah menceraikan." Enteng sekali dia menjawab.

Darah memuncak di ubun-ubunku. Gelas yang ada di dekatku, aku lemparkan ka arahnya. Dia terperanjat, tak sempat menghindar. Pasti sakit. Tapi, tentu tak akan sesakit hatiku yang sangat merasa dilecehkan. Memangnya aku binatang, yang bebas melakukan perkawinan tanpa aturan?.

Dengan bara yang tetap aku pelihara hingga sekarang, aku membesarkan seorang Dewi sendirian. Ia tumbuh menjadi gadis yang cantik. lincah dan pintar.

Kuurus surat kematian suamiku, demi status jandaku. Karena mengurusnya lebih sedikit mengeluarkan biaya daripada mengurus surat cerai yang harus berbelit prosedurnya ke sana ke mari.

Yah,.. aku janda. Dan ternyata banyak kemudahan yang bisa aku dapatkan, termasuk diterimanya aku bekerja sebagai pegawai rendahan di pabrik konveksi tak jauh dari rumah. Pegawai personalianya iba denganku, karena kebetulan dia juga janda dengan dua anak yang masih kecil-kecil.

Tak selamanya menjadi janda itu menyusahkan.

8 komentar:

  1. astagfirullohaladzim mba.. hiks ikut sedih sekali membacanya..

    tetap berjuang ya mba . salam kenal.

    saya suka perempuan kuat sepertimu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mbak Hana Sugiharti, terimakasih sudah berkenan mampir di gubuk sederhanaku.

      Ini kisah saudara saya, mbak. Saya juga banyak belajar dari ketabahan dan kekuatannya.

      :)

      Hapus
  2. Jadi ini cerita saudaranya ya, mak? Turut prihatin atas apa yang telah menimpanya. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan kesabaran, kekuatan dan kemudahan untuk Mamanya Dewi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, ... haturnuhun atas doanya. Semoga terijabah.

      Iya Mak, ini kisah bibi yang sekarang sudah berbahagia menimang cucunya. di hari tuanya Allah berikan kebahagiaan dengan anak yang hidupnya relatif mapan dan berbakti kepadanya. Alhamdulillah.

      Hapus
  3. Innalillahi...
    Semoga saudara mbak diberi kekuatan dan kesabaran untuk enghadapi kehidupan. Membesarkan dan mengurus Dewi menjadi anak yang sholehah.

    BalasHapus
  4. Mbak Niken Kusumowardhani : Terimakasih sdh berkenan mampir, mbak.

    Aamiin ..., Insya Alloh doa mbak Niken telah terijabah, setidaknya bibi sudah berbahagia di masa tuanya, bersama anak dan cucunya.

    :)

    BalasHapus
  5. Subhanallah, kisah nyata yang begitu banyak diambil hikmahnya, semoga saudara diberi kekuatan,
    salam kenal mampir mak ke rumahku www.nurulhabeeba.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin ...

      TErimakasih ya, sudah berkenan mampir. Salam kenal kembali.

      Meluncur nih ke rumah mbak Nurul .. :)

      Hapus