Minggu, 07 Oktober 2012

Romantika Berbeda Bahasa

Hai .. hai ... Sahabat semua.. :)

Pagi ini,  sepeninggal anak dan suami ke tempat tujuannya masing-masing, saya sudah bisa leluasa nangkring di depan PC di ruang dapurku. Pastinya ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan untuk batas waktu hingga siang nanti. Melantai, mencuci dan bebenah sudah sedari pagi beres. Beginilah kalau anak-anak sudah besar, emaknya tidak begitu repot beberes dari sudut ke sudut. 

Sebelum saya menyentuh pekerjaan yang sebagian sudah saya cicil di malam tadi sembari menunggu suami pulang, saya ingin berbagi kisah ringan yang -semoga- bisa menyegarkan di awal hari sahabat sekalian.

Semalam, ternyata suami pulang agak awal. Belum sampai jam 11 malam, suara kendaraannya menderu di depan gerbang. Oh, .. tumben sudah pulang, batin saya. Saya syukuri kepulangannya dan kami pun bisa lebih leluasa berbincang banyak hal sembari mencari kantuk. Biasanya kami akan berkisah, timpal menimpali apa-apa yang sudah kami alami hari itu. Saya bercerita tentang anak-anak, tentang aktifitas seharian dan tentu saja dengan segala suka dukanya. 

Hingga ketika kisah saya sampai pada salah seorang anak yang -alhamdulillah- diberikan kesempatan untuk mengukir prestasi di sekolahnya, sampailah suami pada komentarnya yang membuat hati saya berdesir.

"Abi itu benar-benar GETUN kalau melihat Hani. Coba kalau Ummi supportnya lebih lagi, mungkin masih ada peluang berkembang lebih bagus."

"Duh, ... punteun atuh, Bi. Ummi harus gimana lagi ?" tanya saya dengan hati-hati.
"Ah,.. da Ummi mah pasti lebih tau." jawabnya.

Mungkin suami saya melihat perubahan di wajah saya. Bagaimanapun, saya merasa sudah maksimal membimbing anak. Tapi, kenapa suami harus bilang GETUN? Jika pun ada masukan, biasanya suami menyampaikan dengan kata-kata yang lebih enak. 

Oh, ya ...
Sebelumnya perlu diketahui. Saya terlahir sebagai orang Jawa. Jadi, ketika mendengar kata GETUN, maka dalam persepsi saya adalah sebuah ungkapan penyesalan. Berbeda dengan suami yang bersuku Madura. Tapi, mengingat suami sudah lama hidup di Jawa Timur, maka saya pikir suami pun punya persepsi yang sama ketika mengucapkan kata GETUN. 

Olala ...
Suami tergelak-gelak menyaksikan perubahan suasana hati  yang terpancar lewat mimik wajah saya. Rupanya ia menyadari sesuatu. Tentu saya dibuatnya heran. Ada apa?

Rupanya GETUN yang ia maksudkan adalah kosa kata bahasa Madura yang berarti 'Kagum'.,'Heran', atau 'Takjub'. Bukan GETUN dalam arti bahasa Jawa yang bermakna menyesal. 

Maka saya pun ikut geli menyadari ini. Dan saya memahami, karena salah paham seperti ini sering terjadi. Baik antara saya dengan suami, ipar-ipar, mertua bahkan dengan keluarga besar suami. Hal yang sama terjadi pada suami ketika berinteraksi dengan keluarga saya.

Pernah saya dongkol banget pada asisten yang dikirim mertua untuk membantu saya ketika anak sulung saya baru belajar lari, sementara adiknya masih bayi merah. Saya masih di Surabaya, belum pindah ke Bandung.  Di tengah kesibukan saya menyusui dan menahan nyeri sehabis melahirkan, sulung saya berlari ke jalanan. Di gerbang tengah berdiri asisten kiriman ibu mertua dari Madura yang notabene hanya mengerti bahasa Madura. Spontan saya berteriak : "Mbaakkk,... tolong CEKEL si Mas. CEKEL !!! .. jangan biarkan lari". Maklum, Jawa totok. Ketika panik yang keluar dari alam bawah sadar ya, .. bahasa ibu. CEKEL, maksud saya adalah 'pegang', 'tangkap'. Jadi anak saya tidak keburu kabur. Begitu maksud saya.

Aduh .. aduh ..
Sang asisten pucat pasi mendengar instruksi saya. Saya dongkol banget, akhirnya saya tinggalkan bayi yang menangis dan mengejar anak sayayang sudah melintasi jalan raya perumahan. Mobil yang berseliweran makin membuat saya panik. Alhamdulillah, si sulung selamat. Tapi gondok saya pada asisten masih tersisa hingga ibu mertua yang mendapat pengaduan dari asisten, tergelak-gelak sampai keluar airmata.

Rupanya asisten saya mengadu ke ibu mertua perihal instruksi saya padanya. Ia ketakutan setengah mati, makanya wajahnya juga pucat pasi.

Rupanya ketika saya menyuruhnya dengan kata CEKEL, maka ia mengartikannya sebagai perintah untuk MENCEKIK leher anak saya. 

O...oo..., pantas saja ia pucat dan bingung berdiri tak tahu harus berbuat apa. Maka giliran saya akhirnya ikut tergelak menyadari kesalahpahaman ini.

Begitulah dinamika berinteraksi dengan keluarga suami. Ada beberapa kata yang memang bikin saya tertawa karena artinya beda dengan pemahaman awal saya terhadap kata tersebut. Misal kata 'NGOMONG', ternyata maksudnya adalah 'BOHONG'. Ketika suami menyebut warna 'BIRU', ternyata maksudnya 'HIJAU". Maka untuk menghindari kebingungan kami, .. suami sering menyebut warna hijau dengan kata "BIRU DAUN". Sampai saat ini pun suami masih sering ketukar-tukar dalam penyebutan warna Biru dan Hijau. Bukan dikarenakan bingung warna, tapi lebih pada kebiasaan penyebutan di alam bawah sadar dia.

Hmm,.. sedikit berbagi romantika menikah beda suku. Pastinya banyak kisah. Tapi kalau dituangkan semua, bukan 'sedikit' lagi atuh ... :D:D

Salam bagi semua sahabat, selamat beraktifitas ..






Tidak ada komentar:

Posting Komentar