Senin, 12 November 2012

Pahit Manis Mengenang Guru Kehidupanku

Berbincang tentang jasa guru, bagai berbicara tentang nafas kehidupanku. Karena aku menyadari, tanpa guru apalah arti seorang Wied. Tak berayah-ibu pendidik atau terdidik, tak berlingkungan yang mendidik.

Bagiku semua guru baik yang mengajar di sekolah formal maupun guru di sekolah non formal telah menempati masing-masing bilik di ruang hatiku. Dan bisa jadi ruang-ruang hati itu akan terisi kembali oleh sosok-sosok guru yang akan datang di kemudian hari. Wallohu a'lam.

Namun, dalam perjalanan hidupku, kenangan yang paling menoreh jiwa adalah sosok guruku semasa SD. Utamanya ketika kelas satu sampai dengan kelas empat. Ibarat pahatan, ia telah tercetak sedemikian dalam, hingga masa yang berganti sedemikian lama pun tak mampu memburamkan jejak pahatan tersebut.

Mengenang sosokku yang tak juga pintar membaca dan menulis.

"Hayooo, ... lihat di papan tulis, Wied. Perhatikan baik-baik." Penunjuk yang terbuat dari bilah bambu sederhana itu mengetuk-ngetuk papan tulis hitam yang sudah memudar warnanya. Perhatianku pun terpateri pada tulisan yang ditunjuk oleh Ibu Guru yang baik hati tersebut.

"Coba baca lagi, ... iiii.... kaaaaaannn." Beliau mengeja dengan suaranya yang lantang. 
"Ikan, ... 'ika' ditambah 'n'. Di baca, ... iiiikaaaannnnnn." Ekspresi beliau begitu lekat dalam ingatanku. Berdiri tegak merapat ke papan tulis, kepala beliau menengokku, mempertahankan kontak mata denganku, hingga beliau yakin bahwa aku paham. 

Yah,.. sejak itu, logikaku terbuka seluas-luasnya. Kesulitanku dalam membaca dan menulis huruf mati terurai sudah. Sejak itu, serumit apapun tulisan, baik yang berbahasa asli Indonesia maupun yang berbahasa serapan, aku lancar membacanya. 

Beliaulah guruku di kelas satu SD. Sebuah SD Negeri yang jauh berada di pelosok pedesaan, bertempat di perbatasan Ponorogo dan Trenggalek, di daerah yang terpagari pegunungan menghijau, yang di ujung matahari terbit selalu tampak semampainya kaki-kaki gunung wilis yang memberikan mata air tak kenal kering sepanjang waktu.

Ibu Suparti, begitu kami memanggilnya. Hingga hayat dikandung badan, Insya Allah aku tak akan bisa melupakannya. Tanpa beliau, kakiku tak akan sampai di pijakan ini. Menjelajah dunia pengetahuan, berbekal logika penulisan 'ikan'. 

Tentu sejatinya tak sesederhana itu. Pola didik yang berangkat dari hati, yang berdasar pada eloknya pribadi, telah memberikanku pijakan asasi yang mampu memberiku motivasi untuk belajar, bertahan dan memenangkan pertarungan antara tetap berjuang atau berhenti di tengah jalan.

Mengapa demikian?

Karena aku bukanlah seseorang yang terlahir dari kalangan terdidik, atau kalangan yang berlimpah uang. Kedua orangtuaku hanyalah petani miskin, yang sering dicibir karena hasrat anaknya untuk menuntut ilmu bak tak mengerti realita. 

"Nduk, ... beberapa waktu yang lalu, Simbok bertemu dengan Bu Suparti di pasar. Beliau bertanya di mana kamu sekolah. Setelah Simbok beritahu, beliau berkata : Wied memang anak yang pintar, titip pesan supaya terus lanjutkan sekolahnya. Jangan putus di tengah jalan." Begitu Simbokku pernah menceritakan ketika aku masih duduk di bangku SMA. 

Bahkan beliaupun masih memberikan energi padaku untuk menjadi pemenang, ketika aku merantau jauh dari tanah kelahiran.

Sama-sama seorang guru, di sebuah masaku, kelas dua SD. Aku memanggilnya Bu Sri. Perangainya pemarah. Suaranya menggelegar membuat kecut hati murid-murid sekelas. Aku juga sering ciut nyali.

Sebenarnya, dalam hal pelajaran aku tidak terlalu mengalami kesulitan. Basic di kelas satu yang membuatku percaya diri, karena aku lancar membaca dan menulis, aku juga tak kesulitan di pelajaran berhitung. Hanya saja, karena aku bukan 'siapa-siapa', aku pernah dituduh mencuri sampai tiga kali. 

Kasus pertama, ketika itu ada salah satu buku ulangan dari teman sekelas hilang. Aku tertuduh bersama dua temanku yang lain. Kami disidang disaksikan oleh teman sekelas, adik dan kakak kelas. Aku yang memang tak merasa mengambil tak bisa membela diri karena jiwaku sudah terpojok sedemikian rupa. Aku tidak tahu bagaimana tuduhan itu bisa teralamatkan kepadaku, yang jelas setelah itu buku ditemukan. Dan tak ada prosesi permintaan maaf, baik secara langsung ataupun tak langsung kepada kami, tertuduh pencuri buku yang hilang.

Kasus kedua dan ketiga, ada yang kehilangan uang. Bagaimana awal mulanya, sungguh akupun tak paham, mengapa aku bisa dituduh mencuri. Dan perlakuan Bu Sri padaku sama seperti kasus pertama. Aku disidang, dituding, dicerca, diinterogasi, dipaksa mengaku mencuri uang tersebut, padahal Demi Allah ... aku tak pernah melakukannya. 

Jiwaku retak. Harga diriku terkoyak. Aku yang bukan 'siapa-siapa' benar-benar berada di kecuraman jurang  rendah diri. Apa yang bisa aku lakukan? Mengadu pada orangtua? Oh, ... aku bukan type pengadu. Aku menyimpannya dalam-dalam luka itu. Perih itu aku nikmati hari demi hari, hingga akupun terkesima ketika mengetahui bahwa Bu Sri kembali mengajar di kelas tiga. 

Aku serba takut. Aku serba tak berani bersikap. Melihat keberingasan beliau kepada teman-teman yang tak juga paham apa yang beliau terangkan, aku semakin terpuruk. Takut luar biasa. Sepanjang ingatanku, aku selalu bisa menghindari kemarahan Bu Sri di masalah pelajaran. Tapi, tetap saja hariku berlalu dengan penuh tekanan.

Butuh waktu panjang bagiku untuk bisa mengambil hikmah dari  perlakuan Bu Sri padaku. Trauma psikologis yang menderaku tak jua memberiku ruang untuk bisa berdamai dengan kenangan itu. 

Jika kemudian aku kembali bisa menemukan keceriaan di masa itu, adalah sosok Ibu Sumianah yang mengajarku di kelas empat. Sosoknya begitu lembut, penuh perhatian dan jarang sekali marah. Beliau ibarat oase ditengah gurun, yang mampu menjadikanku kembali pulih percaya diri. Aku kembali menemukan sosok pendidik yang sebenarnya. Sosok yang melecutku untuk bisa berprestasi di tengah keterbatasan diri. 

Aku yang telah terpuruk direngkuh dan dibimbingnya untuk kembali bangkit meraih prestasi demi prestasi, meski itu hanya sebuah nilai yang tertera di selembar kertas ulangan. Tapi, tak ada beban, tak ada celaan.

Mengalami sendiri akan arti penting penghargaan bagi jiwa seorang anak, menjadikanku mengerti bagaimana harus bersikap ketika menghadapi anak-anak didik, atau anak sendiri. Keretakan jiwa yang pernah aku alami telah menjadikanku memahami, bagaimana menjaga jiwa-jiwa murni anak sedari dini. 

Maka, guru-guruku di masa awal aku belajar adalah guru sepanjang jaman. Hikmah terpetik sedemikian dalam dari sosok Bu Suparti, Bu Sri dan Bu Sumianah. Pahlawan sesungguhnya yang -bisa jadi- bukan aku sendiri yang merasakan. Ada banyak jiwa yang berkembang berlandaskan pondasi yang mereka tanamkan. 

Maka, seperti apapun sosok guru, meski trauma mendera sedemikian lama, tetaplah kehadirannya di hidupku bukanlah tanpa rencana-Nya. Pasti mereka hadir padaku untuk memberiku pelajaran berharga, tentang hidup dan kehidupan itu sendiri.

Almarhum Ibu Suparti, menggendong putra keduanya -Subiono- yang sekaligus teman sekelasku.


Bagimu para guruku ... semoga Allah SWT berkenan menyempurnakan segala kekuranganmu, untuk kemudian mulia ketika berada di sisi Rabbmu. Aamiin.


Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis bertemakan 'Guruku, Pahlawanku' yang diadakan oleh Gerakan Indonesia Berkibar.  Gerakan Indonesia Berkibar adalah sebuah gerakan nasional untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia melalui perbaikan kualitas guru dan sekolah.


3 komentar:

  1. Sayaang, tulisan begitu bagus dan sangat menyentuh. Kalau saja bunda adalah salah seorang dari Jurinya, maka bunda akan memberikan nilai paling tinggi buat tulisanmu ini. Kenapa? Karena sangat, sangat mengena dengan tema Lomba. Semoga sukses dengan Lomba Blog-nya ya. Do'a dari bunda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bunda Yati Rachmat : Terimakasih sudah berkenan membaca dan meninggalkan jejak. Salam kenal sebelumnya.

      Sekedar ikut meramaikan dan bernostalgia ini kok Bund, berharap ga kena diskualifikasi karena waktu postingnya sudah mepet.

      Aamiin, .. semoga terijabah. Makasih ya Bund... :)

      Hapus
  2. salam kenal :)
    prosa yg bagus, memang di setiap masa ada saja guru yg berperangai spt ibu sri, bahkan di masa anak2 kita.

    mudh2an sukses ngontesnya :)

    BalasHapus