Selasa, 08 November 2011

Kisah Asep : Menata Kembali Konsep Cinta dan Bahagia



Sosok anak laki-laki itu, kumuh, dekil dan tidak terurus. Setidaknya untuk ukuran anak tetangga saya. Namun, dari awal, saya menyukainya. Dia ramah, sayang sama anak kecil, terbukti Faris –sulung saya- yang berusia menjelang dua tahun sudah lengket dengannya. Faris diajaknya bermain layang-layang. Bahkan saya ingat, gulungan benang layang-layangnya yang berwarna biru ketinggalan di rumah saya.

Saya, penghuni rumah kontrakan yang miskin tetangga, sangat beruntung mengenal anak ini, yang ternyata bernama Asep. Wajahnya lumayan kasep, sayang tertutup oleh legamnya kulit karena terbakar matahari, plus debu yang menempel bercampur peluh yang tampak menganak sungai.
Asep, anak tetangga depan, yang saya sama sekali belum mengenal keluarganya, akhirnya bergaul akrab dengan keluarga saya. Terutama dengan Faris dan adik perempuannya. Tak jarang kami pun makan siang bersama, saat dhuhur menjelang dan dia tak beranjak pulang.

Hingga suatu saat, ada anak perempuan mengetuk pintu rumah saya.
“Ibu, disuruh mama pinjam piring besar,” katanya
Saya bingung, mama anak ini siapa dan rumahnya di mana. Ternyata anak perempuan ini –namanya Geulis- menunjuk rumah orangtua Asep.
Segera saya bongkar kardus perabotan yang belum sempat saya buka sedatangnya saya dari Surabaya. Maklum, kami punya rencana setelah setahun kontrak, pengin beli rumah sendiri, sehingga tidak semua barang yang terpacking kami buka.

Setelah saya menyerahkan piring besar yang jamaknya buat sajian di acara hajatan, saya bertanya keperluannya meminjam piring tersebut.

“Besok Asep dikhitan, Bu. Sekalian ngundang Ibu untuk datang, besok siang.” Jawabnya.
Sungguh, saya orang baru di tanah rantau ini, dan saya masih sangat buta dengan adat kebiasaan masyarakat di lingkungan saya. Maka, saya pun mencoba memaklumi cara mengundangnya yang agak unik ini.
Singkat cerita, saya pun mendatangi undangan tersebut. Di sanalah saya untuk pertama kalinya bertemu dengan orangtua Asep. Ketika saya bersalaman, saya memperkenalkan diri. Senyum ibunya terkembang wajar hingga begitu menyadari kalau piring sayalah yang dipakai untuk menyajikan berbagai macam kue-kue, ibu Asep pun berujar, “Oh, ... nanti piringnya dikembalikan ya, sehabis selesai.” Sembari menyibak rambutnya yang ikal, ibu Asep pun mengalihkan pandangannya dari saya.

“Silahkan, Bu,”jawab saya singkat sembari berpamitan pulang. Tak lupa saya menyelipkan amplop berisi sejumlah uang ke Asep yang duduk bersila dengan memakai sarung, baju koko dan kopiahnya. Terlihat bersih dan berseri-seri. Sekilas saya melihat Ayah Asep berada di pojok pintu dekat pintu dalam. Saya tangkupkan tangan dan mengucapkan salam yang dijawabnya dengan anggukan sopan.

Esok harinya, anak perempuan yang kemarin meminjam piring datang lagi dengan wajah cape’. Darinya saya peroleh informasi, bahwa Asep adalah saudara kembarnya. Dia memiliki 2 orang kakak dan satu orang adik. Jadi total 5 bersaudara. Ibunya bekerja di Jakarta, pulang setiap akhir pekan sedangkan ayahnya bekerja di kawasan industri Padalarang, berangkat pagi pulang malam. Saya berdecak takjub, berlima tanpa pendampingan orangtua, ... sungguh  saya mengerti jika selama ini saya melihat kedekilan Asep dan rakusnya dia ketika makan siang di rumah.
Hanya sekedar mengerti, tapi tidak mampu memahami ...
Ketika di suatu Minggu, saya lihat seorang Asep dipukul oleh ayahnya dengan ranting pohon, hingga daun-daun segar yang menempel di ranting-ranting tersebut berguguran. Teriakan minta ampun dari  Asep mengiris hati. Namun saya bergegas masuk rumah tak hendak mencampuri urusan anak beranak tersebut.
Syahdan, Asep mencuri cincin tetangga belakang.

Juga ketika suatu siang Asep bertandang di jam makan, saya perhatikan dia lahap menyantap nasi dan sayur sop alakadar yang saya masak. Saya perhatikan dia, pelipisnya lebam. Jari-jari tangannya penuh luka menghitam. Saya hanya memperhatikan, tak hendak bertanya, khawatir menjadikannya kurang nafsu makan.
Saya mendengar, kemarin dia dihajar lagi karena mencuri roti di warung terdekat.
Hanya setahun saya bertetangga dekat dengan keluarga Asep. Karena saya harus pindah rumah ke lain blok, mengingat jatah kontrakan sudah selesai dan saya sudah bisa memiliki rumah sendiri. Namun demikian, kami masih satu RW, kebetulan rumah saya berada di tempat yang strategis untuk lalu lalang orang komplek . Sehingga hampir setiap hari juga saya berjumpa dengan Asep.
Kisah Asep yang babak belur oleh kedua orang tuanya sudah menjadi menu khusus bisikan tetangga di warung sayur. Lebih sedap lagi menu tersebut terbumbui kabar bahwa saudara-saudara Asep yang lain juga memiliki kecenderungan hobby yang sama, yakni mengambil barang milik orang lain. Saya  hanya menyimpan bisik-bisik itu di kedalaman hati, sering saya tak percaya sehingga saya pun beranjak pergi.

Bertahun berlalu ...
Saya sering melihat perempuan berjilbab panjang, mengemudikan mobil melintasi depan rumah. Senyumnya merekah, diiringi anggukan yang ramah. Saya merasa tidak mengenalnya.
Sampai saya melihatnya berjalan di perempatan beriringan dengan Geulis, saudara Asep. Saya peras ingatan, serasa pernah melihat wajah itu sekian tahun yang lalu. Dan ketika saya berpapasan, dia menyapa , “Assalamu ‘alaikum, ... Ibu.”
“Wa’alaikum salam,” jawab saya tentu saja. Dan rupanya wanita berjilbab panjang ini melihat kegamangan saya, antara mengenalnya atau tidak.
“Saya ibu Asep, Bu..., “ saya pun menyambut uluran tangannya.
“Ooohhh,... iya.” Saya masih terpana dengan dialog alakadar ini. Luar biasa, ternyata Ibu Asep bisa ramah juga. Setidaknya jika saya membandingkan dengan pertemuan pertama waktu Asep dikhitan.

Dalam sekian hari setelah pertemuan itu, Ibu Asep bertandang ke rumah yang dilanjutkan dengan aktifitas ngaji bareng di lingkungan RW. Maka, semakin akrablah saya dengan Ibu Asep dan keluarganya.
Meski begitu, saya kurang bisa memahami dengan pola didik keluarga tersebut, utamanya Ibu Asep terhadap anak-anaknya. Ibu Asep yang sudah mengambil pensiun dini dari perusahaannya, dia bersentuhan dengan kelompok pengajian yang sering mengadakan taklimnya di kota Bandung. Oh,.. pantas, penampilannya berubah dan saya sempat tidak mengenalinya.

Ibu Asep yang kemudian bertekad menjadi ibu rumah tangga sejati, rupanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa anak-anaknya sudah ‘retak’ di awal proses pembentukan karakter dasarnya. Mereka terlalu lama tanpa pendampingan, sehingga karena lapar, mereka mencuri. Awal karena kebutuhan perut, lama-lama menjadi kebiasaan dan kebiasaan ini membentuk karakter anak-anak tersebut.
Selama saya mengenalnya, tidak pernah terucap penyesalan atau semacam introspeksi dari pihak orangtua terhadap perlakuan mereka pada anak-anaknya. Yang saya lihat hanyalah tudingan bahwa mereka sudah dewasa, dosa ditanggung sendiri. Jika orangtua sudah mengingatkan, maka tuntaslah kewajibannya.
Sementara di tengah keserbacukupan orangtua dengan fasilitas sehari-hari, anak-anaknya sungguh jauh dari kecukupan tersebut. Alasannya : kami mendapatkan ini dengan keperihan, prihatin, serba kekurangan. Maka, anak-anak pun harus merasakan, bagaimana susahnya hidup. Jika mereka sudah bisa mencari uang sendiri, maka silahkan bersenang-senang.

Duhai,.. bahkan hingga saudara perempuan Asep dilabrak oleh tetangga karena mencuri celana panjang dan BH. Cukup dengan marah dan hukuman yang mereka berikan.
Saya  pun sering terkenang, sosok Asep yang menyusul ibunya untuk minta uang saku, maka ceramah sepanjang khutbah menderanya, di depan mata kepala saya sendiri, tanpa sepeserpun uang diterimanya. Lekat bayangnya di ingatan, melangkah gontai menjauh dengan punggung yang terkulai.
Atau sekali di suatu pagi. Asep menyusul ayahnya yang sedang membeli rokok ke warung yang kebetulan saya juga sedang berbelanja di sana. Asep minta uang saku untuk sekolah, tapi ayahnya bersikeras tak mau memberinya. Dengan langkahnya yang terseok kecewa, Asep pun beranjak, jalan kaki menyusuri jalur angkot depan rumah. Sesekali dia menoleh ke ayahnya, berharap ayahnya berubah pikiran. Namun rupanya harapannya sia-sia.

Intinya, kurang elok masyarakat sekitar  melihat kondisi keluarga Asep. Hingga satu persatu kedewasaan menjemput usia anak-anak yang retak jiwanya tersebut.
Di suatu masa, Asep yang sudah berusia 25 tahun, bertandang pada beberapa orang. Memohon maaf atas kelakuan dia dulu yang suka mencuri barang-barang mereka. Asep juga berkunjung ke beberapa orang sholeh, minta doa restu untuk tekad dan cita-citanya yang belum banyak orang tahu, apa maunya.
Bahkan sosoknya begitu rajin hadir dalam majelis-majelis dzikir di masjid. Merengkuh anak-anak kecil di lingkungan, mentraktir mereka dengan jajanan di warung terdekat. Asep disukai oleh kalangan anak-anak ini, karena Asep memang penyayang anak-anak.

Pada dasarnya juga, Asep anak yang baik, maka masyarakat sekitar –utamanya ibu-ibu- juga menyayanginya. Mereka memaklumi kenakalan Asep karena tahu bagaimana orangtuanya memperlakukannya.
Maka, sangat wajar bahwa tangis ibu-ibu menggema pilu ketika mengetahui Asep telah pergi dijemput oleh sang Khaliq dengan cara yang sangat cepat. Sebuah kecelakaan maut tak memberikan jeda pada Asep untuk merasakan sakitnya terlindas truk.
Rasa kehilangan menghujam sanubari para ibu yang mengenalnya. Tak ketinggalan anak-anak pun tersedu menangisinya. Yang belum paham akan hakekat kematian, masih sering menanyakan keberadaannya, hingga jauh hari setelah kepergiannya.

Sungguh, saya pun hanya bisa melihat, sepertinya Asep lebih bahagia dengan Pemiliknya yang hakiki. Pun saya berharap, Asep terjemput di saat dia sedang meniti jalan taubatnya.
Jika hingga detik ini, masih juga pilu hati mengenangnya, itu karena saya merasa ditarbiyah oleh-Nya. Tentang bagaimana jika anak yang dititipkan-Nya tak kita syukuri dengan cinta, tentang upaya memahami, bagaimana menjadikan anak bahagia.

Dan saya takjub, kehilangan seorang Asep bagi para ibu yang mengenalnya, telah menjadikan mereka juga terhentak, menata diri dalam melihat konsep bahagia pada anak. Bergegas sebelum segalanya terlambat, merengkuh buah hati mereka pada kedalaman cinta yang sebenarnya. Mengetuk pintu-pintu hati para anak mereka, dengan muhasabah di setiap langkah : Bahagiakah anak kita?

Tak berlebihan jika saya menyimpulkan, 25 tahun kehadiran Asep adalah untuk membuka mata hati para orangtua, bagaimana berbicara cinta dan bahagia kepada anak.
Itu saja.

bdg, 25/4/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar