Selasa, 08 November 2011

Tragedi di Dini Hari




Lengang …
Gulita masih menyelimuti ketika kelengangan itu terkoyak oleh teriakan empunya toko sebelah, grosir telor yang lumayan besar.

“Maliiinngg …, maliiing …,” disertai suara berisik dan terakhir suara motor yang menabrak sesuatu.
Sontak saya yang masih terbelenggu oleh kantuk yang sangat melompat sembari menyambar kerudung yang selalu saya simpan di sebelah bantal saya. Sementara suami juga segera bangkit sembari sibuk mencari-cari kacamatanya. (hahaha,.. saya suka mentertawakan suami dan anak sulung saya yang suka repot dengan kacamatanya)

Saya langsung menghambur keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ibu pemilik toko sebelah masih berteriak lantang sementara anak bungsunya menangis memanggil-manggil bapak dan ibunya yang sedang berkejaran dengan malingnya.

Lutut saya serasa lunglai. Tetangga ini baru saja kehilangan mobilnya beberapa bulan yang lalu, dan saya berpikir bahwa kemungkinan mobilnya lagi atau sepeda motornya yang hilang kali ini.

Syukurlah, dugaan saya meleset …
Tak berapa lama suami istri tetangga terdekat saya tersebut sudah kembali dengan tangan sang suami masih memegang parang. Mereka berkisah di dinginnya ujung malam yang tak lagi sepi karena tetangga sudah berhamburan keluar rumahnya dan berkumpul di depan.

Jam setengah tiga …
Ditengah kesibukan Pak dan Bu Hasan mempersiapkan keberangkatan si sulung ke tempat kerja prakteknya, tiba-tiba ada suara sepeda motor berhenti di depan rumah. Hening. Tak lama kemudian terdengar sepeda motor tersebut di gas kencang sekali. Belum ada prasangka apapun.

Limabelas menit kemudian …
Terdengar sepeda motor yang sama berhenti di depan rumah. Hening juga. Hingga tak lama disusul suara sepeda motor di gas kencang sebagaimana yang pertama. Barulah Pak Hasan kepikiran kalau ada yang mengambil rentengan telor yang di taruh di garasi rumahnya.
“Kalau malingnya bodoh, pasti dia balik lagi deh, Yah …” begitu si sulung menyampaikan kepada Pak Hasan yang langsung diiyakan. Kemudian disusunlah rencana kilat. Pak dan Bu Hasan bersama anak laki-lakinya mulai bersiap di posisi yang strategis untuk menangkap maling telor tersebut.

Tak lama kemudian, …
Sepeda motor berhenti tepat di depan pagar rumah Pak Hasan. Pengendaranya melompati sisi pagar yang berupa tembok, yang awalnya di tata pot bunga di atasnya. Si maling rupanya telah menurunkan pot-pot bunga tersebut dan dengan leluasa bisa melompatinya.

Begitu bersiap mengambil rentengan telor seberat 15 kg, maka keluarlah Pak dan Bu Hasan serta anak laki-lakinya berusaha menangkap si Maling. Malingnya lari sambil menstater sepeda motornya. Anak sulung Pak Hasan berhasil membonceng di belakangnya, memukulinya hingga jatuh dari kendaraannya. Itulah suara motor yang keras menabrak pagar tetangga depan yang saya dengar segera setelah saya terbangun rupanya.
Si Maling lari, tertangkap oleh Pak Hasan. Parang sudah teracung sedemikian rupa. Namun dasar Pak Hasan memang tidak tegaan, parang hanya sekedar diacung-acungkan. Tentu saja si maling tidak menyia-nyiakan kesempatan. Larilah dia hingga akhirnya nyebur ke sungai yang mengalir di pinggir kompleks perumahan kami.

Menjelang subuh kerumunan membubarkan diri. Sepeda motor si maling di simpan di rumah Pak Hasan. Ada dompet berisikan antara lain STNK, SIM, KTP atas nama Rudy dengan alamat yang tak jauh dari perumahan kami. Pak Hasan berniat menyelesaikan masalahnya dengan cara kekeluargaan.
Singkat cerita, ketemulah si pelaku pencurian telor. Urusan jadi berbelit karena ternyata harus sampai di kepolisian.

Setelah mengetahui identitas Rudy – si maling tersebut-, hati saya tiba-tiba sedih bukan alang kepalang. Rupanya Rudy adalah mantan anak asuh saya (kami, pengelola dana santunan untuk beasiswa anak miskin – bukan saya pribadi).

Dialah anak yang sekitar lima tahun yang lalu pamit kepada saya :
“ Ibu, Rudy sudah tidak melanjutkan sekolah lagi. Cukup lulus SMP saja, kasihan Emak yang masih harus menyekolahkan dua adik Rudy, Jatah Beasiswa Rudy untuk adik bungsu Rudy bisa, Bu? Tahun ini adik Rudy masuk SD.” Kurang lebih begitu dia berpamitan di antar oleh ibunya. Rudy, anak pengangkut sampah di kompleks kami yang bapaknya meninggal karena terkenan tetanus.

Selepas dia dari SMP, dia melanjutkan kerja almarhum bapaknya di sela-sela kesibukannya mengerjakan pekerjaan yang lain. Tak heran, banyak diantara kami yang jatuh hati padanya. Anak muda yang mengerti kondisi orangtua, sekaligus mau berusaha. Hingga akhirnya beberapa tahun kemudian keberadaannya sudah tak lagi terpantau. Ah,… mungkin dia sudah menemukan pekerjaan yang lebih bagus. Begitu saya pikir.
Rupanya Rudy sudah beristri dan memiliki satu anak yang masih bayi. Dia tergabung dalam jaringan’profesional’ pekerja malam. Sehingga meski Pak Hasan tidak berniat mempermasalahkan sampai ke kepolisian, namun jaringan ini ternyata sudah menjadi incaran yang berwajib. Sehingga dengan bukti sepeda motor yang tertinggal, yang berwajib berhasil melacak keberadaan jaringan ini.

Sulit bagi saya menghilangkan sosok Rudy limatahun yang silam. Dengan kepala tertunduk, budibahasa yang santun, dia sudah mampu mencuri hati saya.  Saya sering mengusap kepalanya sedemikian rupa. Kini, hati saya berduka. Masih tersisa rasa sayang saya padanya. Tapi saya juga tak mengerti, bagaimana saya mampu meraih hatinya kembali. Mungkin sekedar doa bagi Rudy, semoga Alloh berkenan menuntunnya kembali.
Saya tak sanggup membayangkan sosok Rudy (masih dengan bayangan lima tahun silam) meringkuk di balik jeruji besi.

Tentu karena saya tak tahu, bagaimana sosok Rudy kini.
Hanya saja semoga dia masih memiliki hati nurani, sehingga dia tahu kemana harus kembali.
Semoga.

 bdg, 27/2/2011





Tidak ada komentar:

Posting Komentar