Senin, 07 November 2011

MERINDU KAMPUNG HALAMAN



KAMPUNG HALAMAN 1985
JURANG GANDHUL, PONOROGO

Mendaki jalan setapak ini, di kedinginan dinihari. Memeras peluh yang tak henti menetes menjadikan tenggorokan kerontang di tengah lembabnya hembusan kabut yang begitu tebal. Sinar oncor seperti tak sanggup menerobos kepekatan yang tercipta di tengah lebatnya pepohonan dan rimbunnya semak belukar.
Aroma asap oncor yang menyengat dan  harumnya bunga liar yang berada di sepanjang jalan setapak ini silih berganti menampar-nampar wajahku.

Hhhh, … puncak Jurang Gandhul masih separoh lagi, karena pertigaan tempat kami bertemu dengan pendaki lain dari desa Jurug baru saja terlewati. Salam khas pantul memantul di antara dinding tebing, bersahutan sembari kaki tetap lincah melangkah setengah berlari, berlomba dengan terangnya pagi.
Puncak Jurang Gandhul adalah kampung Dompyong. Setelah di sini jalanan relatif mendatar. Ada warung kopi yang menyediakan kehangatan minuman bagi para pendaki, juga cemilan tahu goreng atau jadah bakar. Banyak yang mampir, namun banyak juga yang tetap melanjutkan perjalanan mengejar pagi yang semakin nampak kemerahan di balik pegunungan Rembes.

PEGUNUNGAN REMBES

Aku susuri kaki pegunungan Rembes, landai namun perlu kewaspadaan tinggi, mengingat air yang merembes sepanjang tahun dari celah bebatuannya telah menjadikan tatanan batu di sepanjang jalan menjadi licin. Meski masih gelap, namun banyak yang sudah mematikan oncornya. Keterbiasaan kaki seakan menjadikannya bermata. Pijakannya seakan sudah paham mana batu-batu yang berlumut dan mana yang tidak.
Langkah kakiku terpontang panting mengikuti pijakan-pijakan kaki-kaki dewasa di depanku. Yah,.. jika tidak ingin terpeleset, maka ikuti bekas pijakan di depan kita.

“Ayo, nduk …, keburu terang,” Simbok menegur ketika melihatku ragu-ragu meloncati bekas pijakannya. Duh, Gusti,… terlalu jauh untuk kakiku bisa sampai. Belum lagi beratnya beban di punggungku menjadikan aku semakin ragu akan kemampuanku. Namun aku tak punya waktu banyak untuk berpikir, mengingat pendaki-pendaki di belakangku juga sudah banyak. Tanganku ditarik simbok dengan keras dan akupun mengerahkan tenaga semampu aku bisa. Untunglah, akhirnya aku sanggup melampauinya.
Sementara kabut mulai tersingkap, kokok ayam  jantan juga sudah bersahutan di kejauhan. Keindahan mulai ditawarkan alam yang masih sangat perawan ini, namun kali ini pun, aku tak sempat menikmati. Matahari pagi adalah tonggak pendakian ini. Keterlambatan berlomba dengannya hanya akan menyisakan kesia-siaan atas pendakian kami.

Hingga sampailah kami di suatu dataran yang sudah berpenduduk agak rapat. Hatiku mulai lega. Sepertinya setelah ini aku akan bisa menikmati enaknya jalan aspal. Dan memang demikianlah adanya, tak sampai setengah jam kaki kami akhirnya menginjak jalanan beraspal dengan kendaraan yang lalulalang.

DESA BENDUNGAN, TRENGGALEK

Ketika lompatan panjangku melampaui parit pemisah jalan raya dan jalan setapak yang aku susuri dari dinihari tadi, kelegaan benar-benar aku rasakan. Aku nikmati dengan menghembuskan nafas sekuat-kuatnya. Dan seperti biasa, aku terpesona oleh dua air terjun yang tampak cantik dengan derasnya air mengalir menyusuri sungai yang berada tepat di bawah sebelah kiri jalan beraspal ini. Selalu mempesonaku, hingga kembali … tanganku dihentak oleh simbok.

“Ayo, nduk … mataharinya keburu terbit.”
Aku pun kembali melangkah berkejaran dengan para pendaki yang dari tadi bersama-sama. Mereka sudah berada di depanku. Sesekali aku menoleh ke air terjun itu. Duh,.. banyak bunga warna warni di sebelah menyebelahnya. Sepertinya segar sekali berdiri di tepiannya, terpercik oleh timpasan air terjun tersebut.
Namun, aku tidak bisa berlama-lama dalam keterpesonaan, karena tanganku sudah tersentak terburu oleh simbok. Oh, iya… matahari sebentar lagi terbit. Ada yang lebih menyenangkan menanti beberapa waktu lagi.

PASAR BENDUNGAN

Betapa lega hati ini, ketika kerumunan banyak orang sudah mulai terlihat. Bergegas simbok menyibak kerumunan tersebut dengan aku mengekor di belakangnya. Segera kami menuju lapak kami yang terbuat dari dipan bambu ukuran sekitar dua depa tangan dewasa. Di pinggir tengah bagian belakang ada lubang untuk duduk. Rata-tara lapak di sini modelnya seperti itu.

Tergesa namun sigap simbok mengeluarkan barang dagangan dari rinjingnya. Ditatanya rapi berjajar  sehingga penuh seluruh lapak. Berbagai macam dagangan menunggu penawaran dari pembeli yang mulai ramai.
Sementara aku pun sibuk menggelar plastik tebal untuk menggelar barang yang ada di buntelanku. Aku mendapatkan secuil tanah kosong tepat di ujung depan kanan lapak simbok. Simbok memberikanku dagangan yang sekiranya harga, cara melayani dan cara menghitung kelipatan harganya  tidak terlalu rumit untuk aku, anak yang baru kemarin lulus SD.

Bungkahan garam, bungkusan micin, merica, pala, rokok dan beberapa gula putih yang dibungkus seperempatan. Sebuah kantong besar yang jahitan tangannya terlihat kasar erat aku pegang. Di dalamnya banyak recehan lima rupiah, sepuluh rupiah dan duapuluh lima rupiah. Ini untuk persiapan kembalian jika nanti ada pembeli yang uangnya tidak pas.

Aku benar-benar tidak boleh lupa harga barang daganganku. Harga sekotak garam limabelas rupiah, seperempat gula pasir seratus limapuluh rupiah, merica pala sepuluh rupiah, micin kecil lima rupiah, yang besar sepuluh rupiah. Rokok sebungkus duapuluh lima rupiah, isinya rokok berbungkus klobot isi 5 biji dengan bungkusan kertas coklat. Ada gambar wayang di bagian depannya. Ini menjadi rokok yang paling banyak dicari pembeli di pasar ini.

Sementara dagangan ibu banyak sekali. Dari bawang merah dan bawang putih yang menggunung, minyak wangi, bedak, dan aneka macam kebutuhan sehari-hari yang lainnya. Setelah tertata semuanya, simbok pergi ke tukang daun. Simbok mengambil seikat besar daun jati dan seikat biting  untuk membungkus barang-barang yang laku. Biasanya pembeli membawa keranjang dagangannya dan bungkusan-bungkusan tadi tinggal dimasukkan.

Dan benarlah, tak lama kemudian para pembeli sudah berjubel mengerumuni lapak simbok. Rupanya mereka adalah pelanggan setia simbok. Aku kagum sekali dengan ketrampilan simbok dalam membungkus pesanan pembeli, cara simbok mengambil daun jati, melipatnya dan menusuknya dengan biting. Cepat dan rapi.
Beberapa mampir ke daganganku, setelah simbok mengarahkan, “ Micin dan garamnya beli di anakku saja, biar cepat.” Maka aku ketiban pulungnya, kelimpahan dari pembeli simbok.

Pasar Bendungan ini pasar yang unik. Sejak masih gelap sudah ramai. Puncaknya di detik-detik menjelang matahari terbit.  Selepas itu, ketika matahari sudah memancarkan kehangatannya, pasar berangsur sepi. Makanya, para pedagang sejak dini hari sudah berlari, mendaki kecuraman tebing Jurang Gandul untuk ngalap berkahnya pasar ini.

Ketika datang ke pasar ini selepas matahari terbit, maka hanya kesia-siaan saja yang akan dijumpai. Pembeli sudah bubar. Kalaupun ada yang membeli, biasanya sesama pedagang saja. Tentu ini tidak maksimal, karena sesama pedagang biasanya sudah tahu sama tahu modal dasarnya. Sehingga mereka pun punya harga tersendiri, yang tentu ada selisihnya jika dibanding menjual kepada pembeli yang tahunya hanya harga pasaran saja.

Setelah benar-benar sepi, biasanya sekitar jam 7 pagi, simbok mengajakku pergi mencari sarapan. Inilah saat-saat yang aku sangat sukai. Sepiring nasi soto ayam yang tersaji panas benar-benar terasa nikmat.
Sekitar jam 8 pagi, kami mengemasi barang dagangan dan bersiap pulang. Sebenarnya ini akan menjadi perjalanan yang menyenangkan, karena beban buntelanku sudah banyak berkurang. Cahaya juga sudah terang benderang sehingga keindahan alam benar-benar bisa dinikmati. Hanya saja, melakukan perjalanan  panjang di siang hari tentu panas. Aku tidak suka berpayung karena payung hanya akan menghalangi keleluasaanku. Biasanya ujung kain gendonganku yang aku buat sebagai penutup kepala. Lumayan, sedikit mengurangi teriknya matahari.

Dan perjalanan menuruni tebing Jurang Gandul ternyata lebih berat daripada mendakinya. Dibutuhkan tumpuan kaki yang kuat. Sampai gemetaran kakiku menahan keseimbangan badan agar tidak jatuh terguling.
Diterangnya cahaya, tampak jelas di sebelah menyebelah jalan setapak Jurang Gandul, banyak terdapat goa-goa. Dengan kepolosanku, aku bertanya pada simbok, “ Gua itu ada penghuninya apa tidak ya, Mbok?”
“Husss …,” Simbok langsung menghardikku dengan mata melotot.
Aku pun terdiam. Namun aku bisa merasakan ada semacam ketakutan membicarakan masalah ini di sini.
Menjelang tengah hari, kami baru sampai rumah. Rasanya kaki dan punggung pegal semua. Aku pun segera berselonjor sembari mengemil jajanan oleh-oleh yang tadi di beli simbok di pasar.

Sementara simbok sudah sibuk menyalakan api di tungku kayu, mencuci beras dan menanaknya. Lincah tangannya mengupas labu siam, memetik kacang panjang dan mengulek bumbu di cobek batunya. Ya, sebentar lagi Bapak pulang, masakan harus sudah disiapkan.
Rutinitas ini aku jalani selama tiga tahun selama masa SMP, setiap hari pasaran Minggu Kliwon dan Minggu Pahing. Pada saat sekolahku tidak masuk, aku akan merasa sayang jika aku tidak berada dalam barisan obor yang mengular di sepanjang tebing Jurang Gandul di setiap dini hari. Aku tahu, simbok suka aku bantu, dan aku pun mendapatkan sejumlah uang sebagai tambahan uang saku.

Dari pekarangan rumah, terlihat di arah timur pegunungan berbaris dengan kelebatan hutannya yang masih magis. Ada pohon yang tumbuh miring di puncak tebing, di sanalah kami biasa istirahat siang sepulang dari pasar. Kadang aku tak percaya, aku mampu mendakinya hingga sampai di balik pegunungan tempat matahari terbit itu. Begitulah, sebagaimana simbok pun kadang berguman, “Lha wong di depan juga ada pasar yang ramenya ngalah-ngalahi pasar Bendungan, tapi kok kebanyakan rejeki kita ada di balik pegunungan itu.” Misteri rejeki. Tuhan akan memberi sebagaimana usaha yang kita lakukan dalam mencarinya.

KAMPUNG HALAMAN 2000

Aku masih menjadwalkannya setahun sekali, seringnya ketika lebaran Iedul Fitri mudik menengok kampung halaman.
“Mbah Putri masih ke Bendungan?” tanyaku. Secara adat di kampungku, panggilan kepada orangtua akan berubah ketika kita sudah mempunyai anak. ‘Mbah Putri’, itu harusnya anak-anakku yang memanggil demikian. Namun untuk memberikan contoh kepada mereka, akupun memanggil simbok dengan sebutan mbah Putri.
“Ya masih to, Nduk. Wong sekarang jalanannya sudah enak kok. Lewat Sepung terus muter Watu Glundung nembus Rembes. Wis, .. enak. Tidak perlu pethakilan lagi.” Jawab simbok.
“Oh, … berapa jam jadinya?” tanyaku.
“Halah, … tidak sampai dua jam.” Jelasnya.
Oh, tentu tidak akan selama ketika harus mendaki dan berjalan kaki.

Dari pekarangan rumah, aku amati bentangan pegunungan di sebelah timur. Lhoh,.. ternyata pohon yang miring di puncak tebing yang dulu jadi pertanda kampung Dompyong sudah tidak ada. Kehijauan hutannya pun sudah pudar. Tampak gersang. Aku alihkan pandangan ke arah Selatan. Masya Alloh, ini lebih parah lagi. Hutannya sudah gundul. Sebelah Utara pun tak jauh beda. Gunung Jemono yang di belakangnya biasa tampak kaki-kaki gunung Wilis yang semampai membentuk lereng-lereng kebiruan, kini sudah menjadi ladang penghasil jagung dan singkong.

Pantas saja, ketersediaan air tanah di kampungku semakin sulit. Sawah Bapak yang biasanya tak pernah kekeringan sepanjang tahun, kini menjadi sawah tadah hujan. Hanya musim penghujan saja bisa ditanami padi.
Aku menjerit di kedalaman hati. Namun aku tak mampu berbuat apapun, sementara dalam bilangan dua atau tiga hariku di sini sudah habis untuk beranjang sana silaturahmi.

KAMPUNG HALAMAN 2005

Tersentak aku melihat berita di TV. Jalanan di pegunungan Rembes, daerah perbatasan Ponorogo dan Trenggalek longsor. Badan Jalan ambles sehingga tidak bisa dilewati sama sekali.
Pikiranku langsung terpagut pada sosok Simbok. Langsung aku raih handphone.
Tak sabar rasanya menunggu Simbok mengangkat telepon. Beginilah, jaman sudah berubah, hingga nenek-nenek di kampung pun bisa merasakan kemudahan ‘nengok cucu’ dengan sekedar pencet tombol-tombol HP.
“Mbah,… Rembes longsor. … Mbah Putri tidak apa-apa?,” langsung nyerocos aku tanpa basa-basi saking cemasnya.
“Oalah, dikira apa. Kok siang-siang nelpon.” Simbok ternyata malah cemas karena aku telpon tidak pada waktu seperti biasanya.
“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Lha wong longsornya pas pasaran Legi. Yo tidak ada yang ke Bendungan. Kalau Pahing atau Kliwon pastinya susah. Mau lewat mana lagi, wong sekarang sudah tidak kuat lagi lewat Jurang Gandul, … “
Apapun, aku lega. Simbok memang tak mau berhenti berdagang. Diusianya yang sudah 65 tahun, fisiknya masih luar biasa, mampu beraktifitas seberat itu.
Dan ketika aku pulang di hari lebaran, semakin aku  menangis  melihat alamku tak lagi magis.
“Susah …selagi aparatnya doyan jualan. Lha itu kan perkerjaan orang-orang penggede, wong hutan itu kan punya pemerintah. Mana ada wong cilik berani nebangi hutan, selagi cuma cari ranting saja ditangkap dan dipenjara. Ya kamu saja to, pulang ke desa. Benerin desamu. Kamu nyalon jadi lurah atau apalah, … jangan asal nggedumel saja,” sambil menghisap rokoknya dalam-dalam Pakdhe menimpali keluhan-keluhanku.
Dug. Rasa dada tertohok oleh ucapan-ucapan sederhana beliau. Yah,… apalah diriku, tak ada yang sanggup aku lakukan, kecuali mengeluhkan.

Keluhanku pun aku sampaikan pada teman-teman sekolahku dulu. Aku berharap, mereka lebih terdidik, sehingga aku banyak berharap mereka bisa membuat perubahan. Meski hanya semyum yang aku dapatkan. Setiaknya, aku mewanti-wantikan, seandainya kalian ada kesempatan, tolong hal ini di pikirkan.

KAMPUNG HALAMAN 2009

Aku mudik mendadak. Bapak terkena serangan stroke di usianya yang ke 96 tahun. Duh,… sosok yang tak pernah merepotkan dengan penyakitnya ini ternyata tak sanggup menahan serangan darah rendahnya. Selama ini beliau terbilang sehat tanpa penyakit yang dikhawatirkan. Paling sesekali terkena batuk pilek.

Dalam kepulanganku kali ini, aku mendengar kabar yang menggembirakan. Tiga dari empat desa yang ada di kecamatan kampung halamanku, kepala desanya adalah teman-teman dekatku di SMP. Aku berharap banyak, mereka ingat apa yang pernah aku sampaikan ketika beberapa tahun sebelumnya kami bertemu. Demikian juga desa di lain kecamatan yang berbatasan dengan wilayah Gunung Jemono, seorang temanku juga menjadi kepala desanya. Sungguh, aku banyak berharap banyak pada mereka akan kembalinya hutanku yang magis.

KAMPUNG HALAMAN, JUNI 2010

Aku kembali ke kampung halaman. Kali ini masih urusan bakti anak ke orang tua.
Dari pekarangan rumah lagi, aku melihat tunas-tunas menghijau memberikan banyak harapan akan keindahan hutan. Demikian juga di sepanjang jalan yang aku lalui, di hutan Centong sebelah Barat kampung halamanku. Pohon-pohon setinggi orang dewasa sudah berjejer rapi, di antara tanaman singkong dan jagung yang sepertinya bukan tanaman utama lagi.

Aku bersyukur. Meski Simbok tidak bisa berjualan lagi di pasar Bendungan, tapi bukan karena alasan jalanannya longsor. Simbok tidak ke pasar lagi karena sudah terlalu sepuh dan yang jelas simbok harus merawat Bapak di rumah.

Suatu saat, aku masih berharap. Bisa menapaki Jurang Gandul yang eksotis dengan bunga-bunga liarnya dan gua-gua penuh misteri yang tidak pernah  bisa kudapati lagi selepas masa SMPku.
Yah, aku ingin kembali. Bernyanyi dengan kearifan alam, menelusuri kenangan Minggu Kliwon dan Minggu Pahing sepanjang tiga tahun di masa silam.

Bandung, 14 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar