Kamis, 10 November 2011

Tak Perlu Menyesal





           Seandainya manusia ingat pada saat perjanjian pertama dengan Rabb-Nya semasa empat bulan janin ada di perut ibu, mungkin tak ada manusia menyesal dilahirkan sebagai laki-laki atau pun perempuan. Semuanya sadar akan hakekat masing-masing sehingga tak ada yang berminat untuk berubah kelamin. 

           Namun kenyataannya, manusia memang makhluq yang senang berlaku dholim, karena sebagaimana kita lihat semakin banyak laki-laki yang menyerupai perempuan (dan mereka bangga, karena masyarakat semakin bisa menerima) maupun perempuan yang menyerupai laki-laki. Banyak yang  menyesal terlahir sebagai perempuan, karena dalam pikirannya lebih enak menjadi laki-laki. Tak perlu repot dengan tetekbengek aturan pakaian, sibuk berbagi energi dengan urusan domestik maupun publik dan lain-lain. Itu mungkin yang terlintas dalam benak sebagian peempuan.

           Padahal seandainya kematangan berpikir kaum perempuan dibarengi pemahaman yang integral tentang aturan Islam, maka akan kita dapati bergesernya rasa penyesalan menjadi keridhoan yang sepenuh ikhlash. Bahkan ada syukur, karena memahami bahwa dari telapak kaki seorang ibu-tentu seorang perempuan- akan terjelma surga bagi anak-anaknya. Pun tiga derajat hak pengabdian anak dimilikinya dibandingkan hak bapak atas anak. Dalam hal ini tak pernah bisa laki-laki melampaui perempuan.

           Namun, dalam berbagai kasus kita melihat bahwa masih banyak perempuan-perempuan yang menyesal terlahir sebagai kaum hawa. Setidaknya, kalau pun mereka akhirnya pasrah, itu lebih karena tak ada pilihan lain. Bahkan kita yakin bahwa seandainya –maaf-  ada bursa pergantian kelamin, pasti banyak perempuan-perempuan berebut mendapatkan kesempatan itu. Mengapa demikian ?
           Bukan rahasia lagi, kesulitan hidup banyak mendera perempuan-perempuan kita. Keterbatasan ilmu, minimnya  keterampilan hidup menjadikan mereka semakin dependent terhadap laki-laki. Hal ini membuka peluang yang luas bagi terjadinya pendholiman perempuan oleh kaum laki-laki. Ironisnya, tidak sebatas pertentangan gender antara laki-laki dan perempuan semata yang menjadikan perempuan semakin terpuruk  pada sub ordinat tatanan masyarakat kita. 

Sistem ikut andil dalam masalah ini. Sistem pendidikan menjadikan perempuan tak mampu semakin terpinggirkan. Sistem masyarakat menjadikan perempuan sekedar pelengkap. Sistem ekonomi menjadikan perempuan tak memiliki daya tawar yang memadai. Maka jangan heran, meski kepiluan tak terperi menyaksikan penderitaan TKW-TKW kita, baik yang terusir atau yang tidak dari tanah rantau, tetaplah mereka menjadi orang-orang yang tak bisa memilih. Meski semua mengakui, tak sedikit devisa mereka sumbangkan bagi negeri ini.

Sistem politik pun demikian . Perempuan hanya dijadikan komoditas politik yang habis manis sepah dibuang. Meski banyak pemimpin perempuan yang sudah duduk di posisi-posisi strategis -bahkan presiden sekali pun-, memperjuangkan nasib perempuan tetaplah agenda yang harus ikut aturan voting. Hitung punya hitung, akhirnya masalah kaum ibu ini selalu menjadi bahasan yang belum mendesak.  

Namun, meski begitu mengenaskan fenomena umum masyarakat perempuan yang ada di hadapan kita, perempuan muslimah seyogyanya tak perlu menyesali takdirnya. Karena dengan keihlashan dalam menerima ketetapan-Nya merupakan solusi jitu untuk bisa bersyukur. 

Hanya dengan keimanan semata seorang perempuan yang mengalami kontraksi beruntun pada perut belasan jam – dan tentu ini sangat sakit- yang diakhiri dengan anugerah luar biasa, meluncurnya seorang manusia kecil dengan tangisnya yang melengking, mampu memaknainya sebagai puncak kenikmatan sebagai perempuan. Mereka bangga dan bahagia. Dan Demi Allah, -kecuali mereka punya rahim dan infrastruktur yang menopangnya-,  ini tak akan dirasakan oleh laki-laki. Begitu ?  Wallahu a’lam bish showwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar