Kamis, 10 November 2011

Mengurai Lingkaran syetan


1.
Di sebuah rumah tempel di pinggir sungai …
“Cing maneh, ngajedok sia, tong ceurik wae,” suara parau itu menahan tangis keputus asaan.
“Ari maneh teu baligh, huapan atuh ku cai, sugan we daek cicing.” Ada suara yang lebih terdengar dewasa menimpalinya dengan nada marah. 

Selanjutnya dialog penuh sumpah serapah pun berseliweran, sahut menyahut sementara tangis bayi usia beberapa bulan pun kian ramai meningkahi keributan rutin tersebut.

Bagi orang Sunda, tentu akan sangat  paham bahwa dialog di atas amatlah kasar. Bahasa yang tak bertatakrama. Siapa sangka kalau kata-kata umpatan ‘ngajedok’, ‘sia’ itu ditujukan kepada seorang bayi merah usia 6 bulan yang menangis karena kelaparan? Dan siapa nyana, kalau sosok ibu yang harus menyusuinya adalah seorang anak perempuan berusia tak lebih 13 tahun? Dan suara-suara yang menimpalinya adalah suara ibunya yang dalam selang tidak lama juga melahirkan bayinya, sehingga usia anak dan cucu tak bertaut lama.

Dialah Sari. Anak perempuan seusia Elhaq, anak saya nomer dua. Elhaq sekarang kelas dua SMP, baru saja mendapatkan tamu bulanannya, namun masih saja manja dan belum terlalu pandai mengurus diri.
Setiap kali sosok Sari berkelebat dengan kesibukannya menggendong anak dan mengasuh adiknya, ingatanku pasti terpagut ke anak sendiri. Rasanya tidak tega.

Selepas SD, Sari tidak melanjutkan sekolah, karena sang pacar sudah memperkenalkan pada tahapan pacaran yang mengasyikkan. Hingga suatu hari Sari dibawa ke daerah Ciwidey untuk diberikannya pelajaran pacaran tingkat tinggi. Sebercak darahnya tertukar selembar uang 100 ribuan berwarna merah. Proses yang kedua terulang, dengan selembar uang 50 ribu rupiah. Selanjutnya Sari tak bertemu dengan tamu bulanannya. Tak paham juga dia dengan apa yang telah menimpanya. Yang dia rasakan hanya rok bekas sekolah SDnya dulu makin ketat dan tak muat di pinggangnya.
Orangtuanya mulai curiga. Dan terkejarlah sang pacar, untuk dipaksa berikrar sebagai bapak sang jabang bayi. Selepas aqad, lepas pula sang pacar, terbang mencari mangsa-mangsa yang bisa dibodohinya.
Sari tak punya daya upaya memperjuangkan nasibnya. Terbelenggulah dia dalam keterpurukan hidup. Persis dengan kedua orangtuanya yang memulai kebersamaan yang tak beda dengan dia. Miskin, bodoh, terhina, putus asa.

2.
Suatu hari di pagi yang masih basah, ada yang mengetuk pintu pagar. Seorang perempuan muda yang saya merasa belum mengenalnya tersenyum dan mengucapkan salam. Sementara di belakangnya (saya duga) suaminya, segera menstater sepeda motor dan meninggalkannya begitu saya bergegas membukakan pintu, mempersilahkannya masuk.

“Ada perlu apa ya, Teh?” tanya saya.
“Abdi mah dipiwarang ku Bu Ati, saurna Ummi butuh nu tiasa gunting benang.” jawabnya.
“Oh, … muhun… muhun. Mangga atuh, … nyanggakeun …” Saya pun mempersilahkannya masuk dan segera intruksi ini itu. Saya langsung nyambung karena memang kemarin saya sempat minta tolong ke Bu Ati untuk mencarikan orang yang bisa membantu gunting benang untuk merapikan hasil jahitan.
Sembari tetap bekerja, kami pun bertukar cerita, sampai akhirnya saya tanyakan namanya.
“Ummi, abdi Fitri. Ummi teh lupa?”balasnya dengan tanya, sembari mengangkat wajahnya yang saya sadari, ternyata cenderung menunduk dari awal. 

Bagai tersengat lebah, kaget bukan alang kepalang saya mendengarnya. Saya amati dengan teliti wajahnya yang kini dibalut kerudung alakadar. Dan benar, dia memang Fitri. Anak kelas satu SMK yang suka main ke rumah ketika jaman SMPnya. Terakhir ketika mau ujian kelulusan SMP, dia banyak bertanya tentang plus minusnya memilih sekolah SMK. Saya heran, bukankah sekarang waktunya dia sekolah? Terus, laki-laki yang mengantarnya tadi ?
“Fit mah tos nikah, Ummi. Sareng nu ngajajabkeun tadi.” Seperti memahami jalan pikiranku, Fitri menjawabnya. Ada rona merah di pipinya.
“Fit, meuni teu’ ngundang ummi?” maksud saya sih ingin mengorek kisahnya lebih lanjut.
“Fit khilaf, Ummi. Da Fit teh  tos telat dua bulan, Padahal Fit mah ngan sakali-sakalina diajak ku A’a bobo’.”
“Lho, kok perut Fit tidak membesar?” tanpa saya berusaha menghilangkan kebingungan, saya raba perutnya yang rata.
“Keguguran pas waktu nikahan, Ummi. Jigana kecape’an.” Jawabnya.
Selanjutnya Fitri lebih ringan mengungkapkan segala isi hatinya, sepertinya dia merasa menemukan orang yang bisa memahaminya. (aslinya, saya marah sekali). Betapa dia merasa tidak kerasan di rumah mertua sekarang karena berkumpul dengan ipar-iparnya yang sama-sama sudah menikah. Suami juga tidak banyak bisa membantunya, karena menyadari bahwa untuk urusan makan sehari-hari saja mereka masih harus menumpang.
Saya tanya, mengapa kok tidak meneruskan sekolah lagi. Toh tidak jadi hamil. Kan bisa saja pindah sekolah. Terlalu dini jika harus menceburkan diri dalam lingkaran kerumitan berumahtangga, pikir saya. Tidak perlu bercerai, cukup pasang alat kontrasepsi untuk menghindari kehamilan selama dia sekolah. Minimal dia bisa mendapat pendidikan yang layak dulu untuk kemudian bisa menjadi ibu dan istri yang sesungguhnya. Fitri masih punya banyak harapan.

“Suami tidak mengijinkan, Ummi.” Katanya.
Beeuuuhhhh !!!! Suami macam begini saja ditaati, batin saya. Tapi tentu saja saya hanya bisa dongkol setengah mati.

3.
Tengah malam saya belum tidur. Proposal masih belum beres, masih perlu koreksi di sana sini.
Kasus Sari dan Fitri sering membuat saya gelisah. Ada keinginan yang menghentak untuk bisa menarik Sari dan Fitri juga sekian banyak lagi anak-anak perempuan yang terpaksa menjadi istri dan ibu dikarenakan kebodohannya. Ternyata kasus seperti ini banyak terjadi di lingkungan sekitar saya. Maklum, perumahan yang saya huni dikelilingi perkampungan yang rata-rata tingkat pendidikan dan kesadaran akan pentingnya pendidikan warganya masih sangat rendah. 

Kebodohan menjadikan mereka tak bisa keluar dari lingkaran setan. Kebodohan dan kemiskinan adalah sahabat karib, harus diupayakan untuk menceraikannya. Saya memang tidak punya akses pada para suami ‘gadis-gadis kecil’ ini. Maka saya hanya melihat peluang untuk bisa mengurai lingkaran setan tersebut dari pihak perempuan-perempuan ini. Perberdayaan mereka dengan memberikan bekal ilmu, ketrampilan dan motivasi saya pikir lebih mendesak. 

Maka, bergulirlah pertemuan demi pertemuan dengan para ‘korban’ tersebut. Sehingga saya berpikir, agar bisa optimal dan efektif,  sepertinya perlu diwadahi aktifitas ini. Dan berjibakulah saya dan teman-teman menyusun program dan kegiatan dalam satu tahun ke depan, sehingga apa yang telah dan akan kami lakukan bisa terukur dan dipertanggungjawabkan.

Hmmm,… masih harus tetap rajin mengetuk pintu-pintu, karena jika harus sendiri, saya merasa tidak mampu.
Mohon doa restunya, ya …

@@@@@


Catatan buat yang kurang paham bahasa Sunda.
“Cing maneh, ngajedok sia, tong ceurik wae,” = Coba kamu, diam kamu, jangan menangis saja.
“Ari maneh teu baligh, huapan atuh ku cai, sugan we daek cicing.” = kamu tidak bener, suapin sama air, siapa tahu bisa diam.
“Abdi mah dipiwarang ku Bu Ati, saurna Ummi butuh nu tiasa gunting benang.” = Saya dipesan sama Bu Ati, katanya ibu butuh yang bisa menggunting benang.
“Oh, … muhun… muhun. Mangga atuh, … nyanggakeun …” = oh, .. iya .. iya. Silahkan”
“Ummi, abdi Fitri. Ummi teh lupa?” = Ibu, saya Fitri, Ibu lupa?
“Fit mah tos nikah, Ummi. Sareng nu ngajajabkeun tadi.” = Fit sudah menikah bu, dengan yang mengantar tadi.
“Fit, meuni teu’ ngundang ummi?” = Fit kok tidak mengundang ibu?
“Fit khilaf, Ummi. Da Fit teh  tos telat dua bulan, Padahal Fit mah ngan sakali-sakalina diajak ku A’a bobo’.”  = Fit khilaf, bu. Karena Fit sudah terlambat dua bulan. Padahal Fit hanya sekali-sekalinya diajak A’a tidur.
Jigana = sepertinya/mungkin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar