Kamis, 10 November 2011

SISI HATI MENTARI


Apa kabar sahabat,…
Semoga senantiasa dalam kebaikan dan  kesejahteraan.
Pada kesempatan kali ini, saya ingin berbagi catatan yang saya buat sekitar satu tahun yang lalu. Semoga bermanfaat.

Menjadi perempuan itu kehormatan. Ada sebentuk organ yang merupakan muasal kehidupan yang hanya dititipkan pada perempuan, yaitu rahim. Pada perempuan juga ada ibarat, sekedar tapak kaki menggambarkan surga. Juga tiga derajat lebih tinggi untuk hak ditaati bagi anak-anaknya. 

Namun, banyak di antara kita yang masih menganggap bahwa kemuliaan, kebanggaan, kehormatan dan symbol kekuasaan ada pada laki-laki. Tak heran kalau banyak orangtua sangat berharap, anak pertamanya lahir laki-laki. Diharapkan kelak akan bisa mengayomi adik-adiknya, atau harapan-harapan serupa yang lebih bersifat subyektif. Salahkah? Mungkin tidak. 

Tapi mungkin akan menjadi beda jika terdapat kasus seperti yang saya temui ini. 

Sekitar tujuh tahun yang lalu, saya mengenal seorang anak berusia delapantahunan bermain sepak bola di jalan depan rumah. Teman-temannya semua laki-laki dan dari teriakan mereka aku tahu bahwa ia bernama Ari. Postur tubuhnya tegap dan ada kecenderungan suatu saat kelak ia akan menjadi anak yang berfisik gagah. Rambut pendeknya merah acak-acakan, suaranya lantang. Kesan pertama, saya melihatnya sebagai sosok yang disukai oleh teman-temannya. 

Suatu hari, saya bertemu lagi dengan Ari di warung sebelah rumah. Masih seperti kemarin, wajahnya yang legam memancarkan kekuatan pribadinya sebagai anak laki-laki yang menyenangkan. Tapi, yang membuat saya tak habis mengerti adalah ketika saya melihat seragam merah-putihnya berbentuk rok pendek. Sesuatu yang tidak lazim. Maka ketika ia beranjak, mau tidak mau saya bertanya pada pemilik warung karena kelihatannya beliau sudah sangat mengenal anak yang bernama Ari tadi. 

“Oh, si Mentari … dia mah asli awewe,(cewek). Bapak Ibunya aja yang pengin anak pertamanya laki-laki terobsesi menjadikan dia laki-laki, makanya tidak pernah di kasih baju perempuan. Dari bayi sudah diajarin jadi laki-laki, bukan jadi perempuan.  Itu lho, rumahnya yang di blok depan, dekat masjid.” Jelasnya panjang lebar ketika dengan penuh keheranan saya bertanya. 

“Jangankan Ummi, dokter yang memeriksanya ketika si Ari sakit juga kaget kok. Sampe harus berulangkali minta maaf karena dengan tidak sengaja payudaranya yang baru tumbuh kepegang. Ya, siapa yang gak bingung, laki-laki kok tumbuh payudara … untung Mamanya buru-buru ngejelasin kalo anaknya asli perempuan,” dengan lebih gamblang ibu warung sebelah bercerita, tentu dengan mimik kegelian. 

Namun Sunnatullah tak bisa dibantah, ketika sudah tiba waktunya, fisik Mentari pasti akan berkembang. Dan dia pasti akan jadi perempuan, karena fisiknya patuh pada Sunnatullah. 

Kini, Mentari berusia limabelastahun. Dua tahun terakhir dia rutin dengan tamu bulanannya. Dia sering datang ke rumah, sekedar curhat atau melihat-lihat koleksi buku bacaan anak-anak saya. Cara berjalannya masih sama, gagah. Tapi paras dan senyumnya sudah berbeda, lebih dewasa.. Dari ceritanya, ia sedang naksir ketua Osisnya, seorang laki-laki yang penuh pengertian, katanya. Tapi sedihnya, sang Ketua Osis tak bergeming terhadapnya, karena ia tomboy. Dan teman-teman sepermainannya pun terlanjur menganggapnya sebagai laki-laki. Karena kecenderungannya bergaul memang dengan teman laki-laki. Tidak suka dengan aktifitas keperempuanan. Ada nuansa keperihan ketika dia curhat pengin bisa tampil dan dihargai sebagai perempuan. Tapi rupanya keceriaannya menutupi kegundahannya. 

Saya bersyukur, setidaknya secara psikologis Ari menyadari jati dirinya sebagai perempuan. Walau, pasti ada keretakan dalam pertumbuhan kepribadiannya yang akan sulit untuk kita perbaiki karena masa pembentukannya dilalui dalam kesalahan proses. 

Begitulah, banyak yang tak menginginkan kelahiran anak perempuan, sebagaimana banyak yang menyesal menjadi perempuan. Tanpa menafikan banyak pula laki-laki yang menyesal terlahir sebagai laki-laki, mengklaim bahwa ruh mereka terjebak dalam raga yang salah. Begitu naifkah Sang Pencipta Yang Maha Sempurna? Sementara jika kita telusuri, segala sesuatu yang menyimpang, pasti karena ada upaya penolakan terhadap ketentuan-Nya, terlepas pada titik mana manusia memulainya. Wallohu a’lam bishshowwab. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar